Indonesia adalah sebuah Negara yang besar, negara dengan sejuta kekayaan alam nya, negara yang terkenal dengan sebutan agraria, namun sebutan agraria sepertinya sudah tak pantas lagi untuk negara ini, karna sekarang kita masih harus import kebutuhan pangan kita sendiri. Jika kita mengenang dari segi sejarah dimana kita sempat swasembada beras, bisa kita jadikan cermin untuk berbenah menuju ke arah yang lebih baik. Mengingat prestasi pada tahun 1985 Indonesia mampu mengekspor beras namun setelah beberapa tahun kemudian tepatnya 1987, malahan menjadi negara yang mengimpor jauh lebih besar dari jumlah yang diekspor di tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dampak revolusi hijau dimana penggunaan varietas unggul mendominasi produksi pangan, penggunaan pestisida dalam skala besar, dan tidak adanya rehabilitasi aspek ekologi tempat bercocok tanam. Dampak yang terasa dimana tanah mengalami kejenuhan untuk ditanami lagi dan ledakan hama penyakit dari tanaman pangan tersebut.
Saat ini negara kita ibarat kata seperti sebuah kerajaan besar yang sedang mengalami kesulitan dalam mencari pengganti raja. Negara tersebut memiliki potensi kuat dari sumber daya alam yang beragam di setiap daerahnya, dengan kekhasan setiap daerah yang memiliki budaya pangan variatif seperti konsumsi ketela pohon, jagung, ubi, kentang, sorgum dan sagu. Alur konsumsi Indonesia lebih mengidolakan beras sebagai komoditas utama pangan semenjak kebijakan revolusi hijau. Namun sayang potensi yang kita miliki tidak mampu kita kuasai, karna kurang nya minat generasi Milenial (generasi yang lahir di awal 1980-an sampai 2000-an) untuk menjadi pelaku usaha tani.
Menurut Haning (Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ), para pemuda mengalami perubahan persepsi seiring arus modernisasi sehingga menjadi petani tidak lagi menjadi pilihan mereka. Padahal Indonesia membutuhkan petani-petani yang produktif untuk memaksimalkan produksi pangan, terutama karena Indonesia adalah negara agraris. Kurang nya minat pertanian bagi generasi milenial disebabkan karna beberapa faktor seperti kurang nya kebijakan dan pemerintah dalam melakukan perlindungan harga, namun kecenderungan pemerintah yang hanya mengintervasi pasar ketika harga tersebut sangat mengguntungkan petani. Ini yang terkadang membuat hati petani menjadi terluka dan dampak nya pada generasi milenial menjadi galau, kemudian kurang nya rasa kepercayaan Bank untuk memberikan modal bagi generasi milenial dikarenakan bank hanya ingin memberikan modal apabila nasabah (peminjam modal) memilik rekam jejak tentang bisnis pertanian dan cashflow yang besar. Dimata dan di otak Bank hanya ada bunga (keuntungan), mereka hanya mau memberikan pinjaman (uang) kepada nasabah-nasabah tertentu, yang bahkan mereka tidak tau kebenaran dari pinjaman yang mereka berikan akan di putar menjadi seperti apa?
Indonesia hampir 2/3 penduduknya bertempat tinggal di Jawa. Sedangkan luas tanah di Jawa sebesar 9% dari luas keseluruhan Indonesia. Bisa dibilang 1/3 penduduk Indonesia tinggal di 90% luas wilayah Indonesia. Dari segi pola yang cukup menarik, bisa kita lihat dari data nasional luasan lahan di Jawa 70% ditanami setiap tahun dibanding dengan diluar Jawa yang hanya 10% ditanami tanaman pangan, karena pola hidup masih memanfaatkan hasil hutan dan beberapa sudah dialihkan menjadi lahan perkebunan yang luas. Sedangkan di daerah Jawa mengalami panen hamper 2 kali dalam setahun denan sawah yang beririgasi. Namun pesatnya pembangunan yang tidak sejalan dengan pertanian dan naiknya pertumbuhan jumlah penduduk membuat penggunaan lahan-lahan didaerah semakin berkurang seperti contohnya penggunaan lahan-lahan resapan air, pembukaan lahan kehutanan dan pembangunan dilahan pertanian yang membuat hati bagi generasi milineal menjadi galau sehingga generasi milenial lebih memilih sektor yang menjanjikan.
Dari beberapa pengantar mengenai potensi dan sejarah pangan jelas Indonesia bisa menghadapi ancaman krisis pangan. Poin penting yang ingin ditekankan pada solusi krisis pangan harus dipecahkan melalui produksi nasional dan pola pikir masyarakat yang harus mulai bervariasi dalam memilih komoditas pangan lokal. Dimulai dari transisi ketahanan pangan kearah kedaulatan pangan. Ketika membahas mengenai ketahanan pangan dalam benak terlintas sebuah pemikiran dimana semua orang bisa mengakses secara sosial, fisik, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup dan bergizi tanpa melihat darimana asal dan prosesnya.
 Solusi dari mensiasati kebijakan tersebut adalah memperjuangkan tanah untuk petani karena berperan sebagai produsen dari pangan dan lawan dari kelaparan juga menjaga kelestarian alam. Selanjutnya membangun organisasi masyarakat yang kuat untuk menentang setiap kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada petani seperti kebijakan impor pangan alangkah lebih efektif pemerintah memberi kredit atau modal usaha untuk mengembangkan sarana produksi sehingga mampu memenuhi produksi nasional. Dan yang paling penting adalah menekan dan mempengaruhi kebijakan seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No.19/2013, UU no18/2012 tentang pangan, dan membuat konsep kelembagaan penyelesaian konflik agraria. Kita harus merubah pola pikir pangan mengenai "tidak kenyang sebelum makan nasi" padahal sumber bahan pangan tidak hanya beras saja. Beragam komoditas pangan lokal seperti sagu di daerah Indonesia bagian timur, jagung, singkong, ubi jalar juga shorgum sebagai alternatif lain pangan selain kita terpaku pada komoditas beras dan gandum.
Sebagai generasi muda dimana kita harus menjadi agen perubahan mengenai pola pikir bahwa Indonesia tidak krisis pangan, lebih tepatnya krisis terhadap produksi komoditas beras dan impor gandum. Kita bisa berbenah diri untuk menjadikan Indonesia menjadi negara agaris yang berdaulat pangan, tapi alangkah lebih baiknya kita mulai berpikir mengenai bagaimana mensiasati kebijakan pemerintah mengenai produksi pangan nasional, melalui pemberdayaan petani kecil sebagai produsen.
Sebagai generasi muda dimana kita harus menjadi agen perubahan mengenai pola pikir bahwa Indonesia tidak krisis pangan, lebih tepatnya krisis terhadap produksi komoditas beras dan impor gandum. Kita bisa berbenah diri untuk menjadikan Indonesia menjadi negara agaris yang berdaulat pangan, tapi alangkah lebih baiknya kita mulai berpikir mengenai bagaimana mensiasati kebijakan pemerintah mengenai produksi pangan nasional, melalui pemberdayaan petani kecil sebagai produsen. Juga mengubah cara berpikir kita mengenai sebuah makanan, yang tidak terpatok pada komoditas beras dan gandum saja. Masih banyak komoditas lain yang nilai kandungan gizi, akses produksi, akses pangan dan menambah selera makan beragam dari jenis-jenis komoditas pangan lokal.
Kedaulatan pangan adalah sistem yang menjamin hak suatu bangsa dalam penentuan kebijakan pangan berbasis kemandirian untuk memenuhi kebutuhan pangan yang diutamakan dari produksi sendiri melalui pengendalian sistem produksi, konsumsi dan distribusi yang berperikeadilan berdasarkan potensi sumberdaya, ekologis, sosial, ekonomi dan budaya untuk mencapai sebesar-besar kesejahteraan masyarakat. Menurut UU No. 18 Tahun 2012 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H