Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tatkala Muridku Menulis (Seri 4): Belajar Hidup dari Aquarium

1 Desember 2015   06:22 Diperbarui: 1 Desember 2015   08:26 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belajar di sekolah tidak selamanya harus di ruang kelas dan dari buku pelajaran. Belajar di sekolah tidak selamanya harus menghafal, menganalisis, dan mengurai berbagai teori pengetahuan. Sesungguhnya, belajar di sekolah dapat menjadi kesempatan yang indah untuk belajar hidup. Angelica Tasha menunjukkan bagaimana dia belajar kehidupan dari aquarium yang ada di salah satu sisi sekolah. Ini adalah sebuah kisah belajar yang menakjubkan.

Namaku Aquarium. Aku tinggal di gedung Markus lantai 1 di Kolese Loyola. Badanku yang terbentuk dari kaca dan kayu berdiri kokoh di sebelah ruang dinamika BK. Aku terlindung dari panas dan hujan karena tempat tinggalku di dalam gedung. Empat ekor ikan berenang kesana kemari di dalam air bersih, isi tubuhku. Bagian dalam tubuhku yang terbuat dari kaca terbagi menjadi tiga bagian lebih kecil untuk penyaring air dan saluran oksigen bagi satu bagian tubuhku yang besar, tempat tinggal ikan-ikan itu, yang dihiasi berbagai jenis cangkang kerang, batu, tanaman, terumbu karang, dan gambar pemandangan dasar laut.

Banyak yang berpikir bahwa hidupku enak. Sapu berkata aku beruntung karena tiap kali tubuhku kotor aku dibersihkan, bola pun berkata padaku bahwa aku sangat beruntung tidak perlu merasa sakit karena ditendang-tendang orang dan lantai pun iri padaku karena aku tidak pernah diinjak-injak orang. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya hidupku tak sesempurna yang mereka bayangkan.

Aku harus menampung berliter-liter air yang berat setiap saat. Aku pun bosan selalu berdiri saja sebagai pajangan, sendirian dan tak dapat bergerak. Padahal tidak banyak orang yang sudi melirikku. Apalagi complain ikan-ikan cerewet yang tinggal di dalamku. Cukup, aku muak akan semua itu.

Aku iri akan sepatu-sepatu yang silih berganti ditata dalam rak sepatu disampingku. Aku sangat suka mendengar cerita-cerita mereka. Ada yang lelah berlari 9 kali putaran lapangan bola, ada yang mengaku tersiram air di kamar mandi, ada juga keluhan-keluhan lucu karena kaki pemilik mereka berbau tak sedap. Seandainya saja aku adalah mereka. Aku bisa berjalan-jalan kemanapun kaki pemilikku melangkah, menjadi berguna sebagai pelindung kaki manusia pemilikku, bahkan bisa aku punya teman yang setia melangkah bersamaku setiap waktu. Setelah itu, aku jadi punya banyak cerita yang dapat kuceritakan pada teman-temanku. Hidupku pasti akan menjadi lebih berwarna.

Namun, takdir hidupku hanya ada di tangan Tuhan. Paling tidak, aku masih berguna. Lemari kayu dibawahku dapat menyimpan banyak barang. Aku juga tidak perlu repot-repot memakai pelindung panas dan hujan, karena aku tinggal di dalam ruangan. Ikan-ikan cerewet itupun tidak akan bertahan hidup bila tidak ada aku. Aku pun tak perlu cemas akan orang-orang yang suka buang sampah sembarangan, karena pasti merekalah yang dihukum.

Aku bangga karena dapat bertemu banyak orang setiap harinya. Yah, walaupun tak banyak orang yang mengagumiku, tetapi masih banyak anak kecil yang selalu senang melihatku. Bapak-bapak pelaksana yang baik hati secara intensif merawatku, menguras airku, memberi makan ikan-ikan, dan membersihkanku secara berkala. Aku juga bangga karena dapat meredakan rasa penat di kepala orang-orang dan memberikan rasa damai kepada mereka hanya dengan mendengarkan suara gemericik air ku. Beberapa juga mengatakan, bahwa aku adalah pembawa rasa hidup di gedung Markus lantai 1.

Kurasa, hidup ini tidak terlalu buruk bila kita lihat dari sisi baiknya. Memang, rumput tetangga pasti lebih hijau. Artinya, pasti ada saja kelebihan mereka yang kita tidak punyai. Namun, pasti ada juga kelebihan kita yang mereka tidak punya. Aku selalu belajar untuk menerima kenyataan hidup ini dan berusaha memperbaiki apa yang bisa kuperbaiki dari diriku. Tidak lupa, aku juga selalu bersyukur atas apa yang telah terjadi padaku, baik ataupun buruk. Semangat untuk maju dan rasa syukur adalah dua hal yang membuatku mampu berdiri kokoh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun