Sydney Harris dalam Failing Forward (Maxwell) menggambarkan dengan jelas elemen-elemen pola pikir yang bersedia diajar atau siap belajar: "Seorang pemenang tahu betapa banyak hal yang masih harus ia pelajari, bahkan ketika ia dianggap pakar oleh orang lain. Seorang pecundang ingin dianggap pakar oleh orang lain sebelum ia belajar cukup banyak untuk mengetahui betapa sedikit yang diketahuinya." Ada pembeda yang sangat kontras antara pemenang dan pecundang dalam hidup ini.
Ada begitu banyak yang sudah puas dengan keadaannya dan merasa tidak perlu belajar apa-apa dalam hidupnya. Merasa apa yang sudah didapat ataupun dicapai dalam hidup sudah cukup sehingga tidak membutuhkan militansi dan idealisme baru untuk hidup yang lebih progresif. Atau, di sisi lain banyak orang merasa cukup dengan pencapaian hidupnya karena malas untuk berjuang dan bersusah payah belajar hal baru. Ada kesadaran yang terlupakan, bahwa dunia terus berubah dan berkembang yang menuntut sikap diri untuk selalu belajar sepanjang hayat.
Ada juga orang yang merasa sudah menguasai segalanya dan mampu melakukan apa saja, padahal sesungguhnya apa yang dimiliki belum ada apa-apanya, masih terlalu sedikit dibanding tuntutan hidup yang begitu kompleks. Ada kesombongan diri yang pada waktunya akan menjatuhkan dirinya pada keterpurukan dan ketidakmampuan dalam hidup. Kesombongan diri sesungguhnya cerminan dari tidak adanya kerendahan hati di dalam dirinya untuk mengakui kekurangannya dan pada akhirnya berbuah kekosongan diri karena tak ada kemauan untuk belajar.
Mengingat sewaktu anak usia 2 - 5 tahun, apa saja ditanyakan sampai kadangkala orang tua bingung menjawabnya karena pertanyaan sederhana namun justru sulit memberi jawabannya. Ini fase di mana anak begitu antusiasnya belajar sehingga ingin tahu banyak hal yang di sekitarnya. Selain itu, anak di usia itu juga begitu aktif mencoba melakukan hal-hal baru. Jatuh bangun tetap dilakukan, bahkan terbentur dinding atau benda apapun tidak menghentikan niat dan minatnya untuk bisa melakukan yang dimaunya.
Sejatinya kita sebagai manusia dikaruniai dan disiapkan sejak dini semangat untuk belajar sehingga memampukan kita dalam menjalani hidup ini. Dalam perjalanan waktu, semangat belajar itu semangat lemah karena ada kesombongan, kemalasan, ketakutan, dan kecemasan yang akut yang menyelimuti pola pikir manusia.
Pada saatnya, jika kita hidup untuk belajar, maka kita benar-benar belajar untuk hidup. Belajar bisa kapanpun, di manapun, dan dari sumber apapun. Belajar itu berlaku sepanjang hayat karena hidup harus selalu dihidupi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI