Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi tentang Kompetensi: Bergulat dalam Komitmen, Totalitas, Ketekunan, dan Konsistensi

4 Agustus 2023   10:11 Diperbarui: 4 Agustus 2023   10:12 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi diambil dari: www.success.com

Hidup merupakan sebuah proses panjang membangun ide tentang makna kehidupan, mengolah rasa tentang nurani, merajut kepedulian pada humanitas, dan memperkuat komitmen pada kebenaran. Bumi terus berputar maka hadirlah keseimbangan, demikian pula hidup hendaknya terus berproses untuk terus bersinergi dengan sesama, semesta, dan Sang Pencipta.

Berbicara tentang kompetensi, John Johnson dalam Christian Excellence menulis, "Kesuksesan mendasarkan kelayakan kita pada perbandingan dengan orang lain. Keunggulan mengukur nilai-nilai kita dengan mengukur kita terhadap potensi diri kita sendiri. Keunggulan tersedia bagi semua makhluk, namun hanya dimiliki oleh sedikit orang." Menjadi nyata bahwa sesungguhnya kompetensi erat kaitannya dengan komitmen diri pada keunggulan.

Keunggulan sejatinya bukanlah hasil dari kompetisi yang bertendensi mengalahkan satu sama lain. Dalam mengusahakan keunggulan tidaklah harus mengalahkan yang lain atau sebaliknya menjadi pemenang atas yang lain. Keunggulan merupakan proses komparatif, bukan kompetitif menjadi sang juara. Bahkan, keunggulan harus diletakkan sebagai proses, bukan hasil, sehingga keunggulan menjadi proses pembelajaran hidup yang berkesinambungan. Manusia unggul berarti pribadi yang siap belajar dan selalu memaknai segala pengalaman hidupnya sehingga berkompeten dalam hidup ini.

Lebih lanjut, kompetensi terhubung langsung dengan semangat totalitas dalam hidup. Sederhananya, tidak mau mengerjakan sesuatu sedang-sedang saja atau setengah-setengah. Sebuah analogi bagus terkait totalitas dalam kerangka kompetensi, tatkala orang mendaki gunung tidak hanya sampai setengah jalan saja, mau menuju puncak enggan tapi mau turun gunung sangat eman-eman (sayang sekali). Semangat totalitas berarti siap menembus batas diri, sehingga ada kekuatan lebih untuk melakukan sesuatu secara luar biasa, tidak biasa-biasa saja. Siap menjadi manusia berkompeten, maka siap total dalam mengusahakan kehidupan yang lebih baik.

Dale Carnagie pernah mengatakan, "Jangan takut memberikan upaya terbaik pada pekerjaan kecil. Setiap kali kita berhasil melakukan hal-hal kecil, kita akan menjadi semakin kuat. Jika kita melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil dengan baik, pekerjaan-pekerjaan besar cenderung beres sendiri." Kompetensi juga erat kaitannya dengan ketekunan pada hal-hal kecil karena justru hal-hal kecil itulah awal dari sebuah habitus baik untuk membentuk karakter baik.

Bangun pagi dan membereskan tempat tidur adalah pembiasaan kecil yang sejatinya memberi dasar yang hebat untuk pekerjaan besar tentang semangat dan disiplin diri. Menata ruang kerja dengan rapi setiap saat merupakan pembiasaan sederhana yang melatih pribadi pada pekerjaan besar tentang ketekunan dan sistematis. Merapikan tempat makan kembali bersih dan rapi sewaktu makan di tempat umum (termasuk warung makan) merupakan pembiasaan diri yang melatih tentang penghargaan dan kepedulian pada diri dan orang lain.

Kesuksesan besar sesungguhnya berangkat dari hal-hal kecil dan sederhana yang dapat dilakukan dengan konsisten dan menjadi habitus. Konsistensi menjadi pembelajaran yang hebat dan bermakna dalam kehidupan, semuanya butuh proses dan tidak ada jalan pintas untuk hal itu. Orang-orang yang berkompeten sejatinya melakukan segala sesuatunya secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga semakin diperkaya dan dikembangkan oleh pengalaman yang penuh makna.

Pada akhirnya kompetensi harus terus bergulat dengan komitmen, totalitas, ketekunan, dan konsistensi sehingga setiap pribadi sungguh-sungguh menjadi manusia pembelajar bagi diri dan sesama. Menjadi kompeten senantiasa siap membangun habitus baik dan siap memaknai kegagalan sebagai sebuah pembelajaran. Ketika kita gagal, gagal, dan gagal lagi namun tetap bangkit berdiri kembali sambal tetap belajar dari kegagalan itu maka sebenarnya kita sedang membangun kekuatan, kegigihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Ayo bisa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun