Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Kamp 8.230 Everest: Menjadi Pemenang bagi Diri dan Orang Lain

20 Maret 2023   12:16 Diperbarui: 20 Maret 2023   12:52 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi diambil dari www.inc.com

Hidup adalah sebuah kesempatan. Hidup menjadi kesempatan untuk menjadi pemenang, bukan pecundang. Menjadi bijak dalam kesatuan hati dan budi, adalah kesempatan untuk memenangkan diri dan orang lain dalam keutuhan dan kebutuhan pada makna kehidupan.

Pada 1984, Lou Whittaker memimpin Tim Amerika pertama untuk mendaki Puncak Everest. Setelah berbulan-bulan melakukan pendakian dengan penuh perjuangan, lima anggota tim berhasil mencapai tempat perkemahan terakhir pada ketinggian 8.230 meter di atas permukaan laut. Dengan sisa ketinggian 610 meter lagi menuju puncak, Whittaker harus membuat keputusan sulit. Semua anggota tim tentunya ingin sampai puncak, namun di sisi lain dua anggota tim harus kembali ke kamp terdahulu untuk mengambil persediaan makanan, air, oksigen, dan logistik lain.

Keputusan sulit harus diambil oleh Whittaker demi keberhasilan pendakian sampai puncak.

Pertama, dia harus memilih dua orang yang masih bugar untuk kembali ke kamp terdahulu dan membawa segala keperluan ke kamp terakhir dan pastinya dua orang itu nantinya tidak mungkin melanjutkan perjalanan ke puncak karena kondisinya pasti lelah dan tidak ideal. 

Kedua, dia harus memilih dua orang yang kondisinya payah lalu membiarkannya beristirahat sambil menunggu segala keperluan logistik dan nantinya dua orang itu yang akan melanjutkan ke puncak. 

Ketiga, dia harus memutuskan untuk dirinya sendiri ada di posisi mana dalam tim.

Akhirnya, Whittaker mengambil keputusan untuk dirinya adalah tidak turun ke kamp terakhir dan tidak naik ke Puncak Everest, dia tetap tinggal di Kamp 8.230 meter untuk melakukan koordinasi dan meyakinkan segalanya berjalan dengan baik. Lebih dari itu, dia harus membuat keputusan untuk rekan-rekannya dan meyakinkan bahwa keputusan itu demi kesuksesan tim, bukan keunggulan pribadi per pribadi. Pada akhirnya, seluruh anggota tim siap sedia mensukseskan pendakian itu dengan segala perannya.

Petualangan Everest menjadi sebuah petualangan batin yang bermakna bagi Whittaker untuk menjadi manusia yang memurnikan tujuan dan mendewasakan kualitas diri untuk sebuah tujuan bersama. 

Whittaker tidak memaksakan dirinya untuk sampai puncak, dia tidak terjebak pada egoisme diri yang terbalut dalam obsesi dan keberhasilan pribadi. Kesuksesan tim justru membuatnya lebih bahagia dan bermakna.

Ada sebuah kesadaran yang disodorkan oleh Whittaker, bahwa ketika orang membuat keputusan yang tepat untuk membantu tim, semua orang akan menang dalam hidup. Masing-masing pribadi adalah sarana untuk kehidupan yang lebih baik dan berharga. 

Ketika Whittaker melihat dua temannya sampai Puncak Everest, bukan rasa iri yang menyelimuti namun justru rasa syukur dan kebahagiaan tiada tara. Inilah pribadi yang dewasa dalam menjalani dan memaknai hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun