Para miliarder terbiasa fokus pada satu pekerjaan, sebaliknya orang biasa pikirannya banyak cabang.
banyak sekolah justru tidak siap pada keragaman anak didik sehingga jatuh pada keseragaman yang berlaku untuk semua anak, melakukan hal yang sama dengan target yang sama.
Ketika anak datang ke sekolah, ada sebuah harapan dia akan berkembang dan berhasil dalam pengembangan dirinya sesuai denngan potensi dan bakatnya sehingga dia menikmati diri dan hidupnya demi kebermanfaatan yang lebih besar, diri dan sesama. Ironisnya,Label anak nakal ataupun anak bodoh sejatinya tidak ada dalam dunia pendidikan, karena yang ada adalah anak-anak yang tidak mendapat tempat dan pendampingan yang tepat sesuai dengan potensi dan minatnya. Anak-anak tidak nyaman dengan segala proses yang ada di sekolah karena mereka melakukan segala sesuatu dengan keterpaksaan, tanpa ada kesempatan untuk memilah dan memilih. Mendapat pelajaran yang sama, melakukan proses belajar dengan strategi yang sama pula, mengerjakan tugas dengan tuntutan yang sama, itu adalah kenyataan proses pendidikan yang nyata terjadi, yang memunculkan pergulatan batin bagi anak-anak.
Merdeka belajar senantiasa sungguh-sungguh menjadi pedagogi sekaligus terinternalisasi dalam tataran praktis sehingga anak-anak mendapatkan pendidikan yang memerdekakan, bukan memperbudak potensi dan minat anak dengan segala standar kualitas yang mengerikan. Merdeka belajar pastinya memberikan aroma menyegarkan dan menyenangkan dalam belajar sehingga anak-anak bisa belajar dalam konteks yang tepat dan bisa memaknai segala pengalaman belajar dalam sebuah kebermaknaan untuk hidup. Merdeka belajar bukanlah kata-kata indah dan bombastis belaka, namun sungguh menjadi roh yang menggerakkan setiap insan pendidikan untuk memanusiakan manusia.
Edupreneurship memberikan kesempatan bagi sekolah untuk merancang dan mengembangkan pendidikan dengan berorientasi pada potensi dan minat sehingga anak-anak secara merdeka mengembangkan diri seiring dengan konteks zaman yang semakin maju dan canggih dalam teknologi. Secara eksternal, edupreneurship meng-update perkembangan anak didik dengan kemajuan zaman sehingga anak-anak bertumbuh dalam proses aktualisasi dan sinergisitas, lahir dan berkembang dalam kolaborasi budi, hati, dan aksi. Dengan kata lain, mereka menjadi generasi yang tidak ketinggalan zaman, mengikuti arus zaman tanpa harus hanyut dan tenggelam dalam euforia zaman.
Secara internal, edupreneurship memberi kesempatan yang mendalam bagi anak-anak lahir, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan potensi dan minatnya sehingga ada sukacita dan semangat untuk belajar terus-menerus dan berkesinambungan. Duc in Altum, istilah dalam Bahasa Latin ini sangat tepat menggambarkan proses belajar yang reflektif dan merdeka, yang artinya "bertolak ke kedalaman", menjadi pribadi yang bertekun dan setia pada fokus diri untuk mengusahakan pribadi yang utuh dan bermakna. Pendidikan di sekolah seharusnya mendorong anak-anak bertekun dan setia pada fokus pengembangan diri, bukan dengan beban yang begitu banyak dan berat sehingga mengacaukan esensi pendidikan humanis.
Duc in Altum sangat tepat menjadi semangat bagi dunia pendidikan untuk mengimplementasikan merdeka belajar, merdeka dalam sebuah kerangka humanisme yang sesungguhnya, sehingga pendidikan sejatinya mengusahakan kedalaman hati dan budi dalam komitmen diri, bukan pencapaian target kualitas dalam berbagai bidang yang membebani akal budi. Mari bertolak ke kedalaman pembelajaran hidup, di sanalah ada nilai-nilai hidup, kearifan hidup, kebijaksanaan hidup, dan keluhuran Sang Pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H