Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Menciptakan Kesukaan dalam Pengembangan Edupreneurship

17 November 2022   13:06 Diperbarui: 17 November 2022   13:08 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi. conceptsbuilder.com

Para miliarder menekuni yang mereka cintai, namun orang biasa bekerja karena terpaksa.

Penting bagi setiap orang memiliki hobi atau kesenangan tertentu. Ketika orang mencintai suatu kesenangan yang positif, maka dia akan fokus pada kesenangan itu dan hampir waktu-waktunya tercurah untuk kesenangan itu. Tak jarang, orang siap berkorban dan berjuang untuk berkembang dalam kesenangan itu sehingga ada kepuasan dan kemantapan diri dalam hidup. Kesenangan pribadi senantiasa memberikan kelegaan batin tersendiri dan kenyamanan dalam menjalani hidup ini.

Banyak orang sukses berawal dari kesenangan atau hobi yang kemudian ditekuni dengan mantap dan mendalam sehingga orang tersebut menjadi ahli dan mampu menemukan peluang untuk lebih maju dan berkembang. Ketekunan dalam kesenangan adalah awal yang baik dalam menciptakan kesuksesan hidup sehingga menjalani hidup dengan sukcita dan penuh semangat. Keterpaksaan dan beban tidak lagi menjadi monster dalam merancang dan mengupayakan hidup yang layak dan berkualitas.

Sukses dalam belajar di sekolah ataupun kampus juga barwal dari kesukaan dan kenyamanan dalam belajar. Seringkali sekolah memberikan tuntutan dan pilihan yang memaksa dan membebani dalam menjalaninya. Anak-anak pergi ke sekolah dengan keengganan dan kekhawatiran, bukan dengan semangat dan antusiasme yang tinggi untuk belajar. Pembelajaran di kelas menjadi sebuah paksaan yang menggerus segala hasrat dan minat dalam diri. Lebih-lebih, kewajiban akademik memberikan daya kejut yang begitu kuat, yang menjadikan para pribadi tidak punya pilihan lain sehingga mau tidak mau harus melakukan.

Jika pernah membaca sebuah seri cerita Totto Chan, sebuah kisah anak sekolah di Jepang, kita dapat melihat komparasi model pendidikan yang begitu kontras, dari sekolah yang sangat formal dan memaksa hingga menemukan sekolah yang sangat kontekstual dan reflektif. Totto Chan pada akhirnya menemukan kesukaan, kenyamanan, dan kebermaknaan dalam sebuah wadah yang namanya sekolah, yang sungguh-sungguh memberikan kehidupan bagi hidup manusia.

Edupreneurship menjadi pintu masuk yang baik untuk mengupayakan pendidikan yang berbasis kesukaan karena semangat dasar dari entrepreneurship adalah rasa suka atau rasa senang pada sesuatu hal sehingga orang terus bertekun dalam kesukaannya hingga akhirnya mencapai kesuksesan. Anak-anak akan belajar menemukan segala kesukaannya sehingga proses belajar menjadi proses yang menarik dan berangkat dari dalam diri anak-anak. Inilah yang disebut dengan motivasi internal, yang akan memberikan semangat dan daya juang lebih daripada motivasi eksternal.

Ketika anak sangat menyukai menulis, maka hal ini menjadi perhatian dunia pendidikan untuk merancang kurikulum yang berlaku secara beragam, bukan seragam sehingga kesukaan anak dalam menulis terwadahi dalam proses pembelajaran. Kita tidak pernah tahu masa depan anak ini, bisa jadi dia akan menjadi penulis yang hebat karena ada proses panjang dalam pendidikan. Ketika anak zaman sekarang suka bermain komputer, jangan menjadi alasan untuk mencap anak itu malas dan bodoh di saat tidak mampu dalam pelajaran. Justru, inilah kesempatan untuk merancang desain pembelajaran yang meng-cover dan memfasilitasi anak-anak itu untuk berkembang dalam dunia digital.

Pada akhirnya, mari melihat anak-anak dan dunia secara positif sehingga dunia pendidikan menjadi komunitas penuh makna dan produktif. Dunia pendidikan sudah seharusnya masuk melalui pribadi masing-masing anak, bukan masuk melalui teori pedagogi yang cenderung kaku dan tidak siap pada konteks yang berubah begitu cepat. Pendidikan dan entrepreneurship seharusnya menjadi kolaborasi dan sinergi yang utuh dan kokoh dalam mengembangkan potensi dan minat anak dalam kegembiraan dan kebermaknaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun