Pendidikan tanpa pilihan sama halnya melempar anak-anak ke dalam sumur yang dalam dan gelap gulita. Saatnya menyiapkan "lapangan hijau" yang luas untuk anak-anak belajar hidup.
Suatu ketika ada kesempatan berjalan-jalan di kota Chicago dan sempat mengunjungi Mexican American Fine Arts Museum. Begitu artistik dan filosofis segala hal yang ada di museum itu. Apa itu hidup dan bagaimana hidup itu dihidupi oleh setiap elemen bangsa tercurah dalam berbagai hal yang ada di museum itu. Graffiti, lukisan, minatur, dan berbagai peninggalan seperti berbicara kepada setiap mata yang memandang bahwa  semangat dan jiwa mereka (bangsa Meksiko) tak akan pernah mati ditelan waktu.
Museum itu pun menjadi sebuah spirit sendiri bagi orang-orang Meksiko atau keturunan yang berada di Amerika Serikat. Semangat dan perjuangan pendahulu mereka akan tetap mereka rasakan. Saya pun yang bukan orang Meksiko merasakan begitu mempesona sekaligus menggerakkan saya untuk selalu menghidupi hidup ini. Benar-benar momen yang begitu baik bisa berkunjung ke museum itu.
Di sebuah sisi museum mata saya sempat melihat tulisan "El respeto al derecho afeno es ta paz"Â atau kalau dalam bahasa Inggris "Peace is respecting the rights of others". Sangat dalam makna tulisan itu saya rasakan. Tiba-tiba dalam pikiran saya mengalir air pikiran tentang tulisan itu bahwa damai itu bukan dari orang lain tetapi justru dari dalam diri kita, bagaimana kita bersikap terhadap orang lain.
Pikiran itu masih terus melaju sembari mata saya terus mengamati lukisan di tembok. Manusia itu hidup dan dalam hidup ada begitu banyak pilihan. Manusia akan damai dalam pilihannya tatkala tetap menghargai pilihan orang lain juga. Hak adalah sebuah pilihan maka kita mesti menghargai hak orang lain. Tiba-tiba pikiran saya langsung bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa damai dalam hidup terletak pada bagaimana kita menghargai hak-hak orang lain.
Menghargai Anak didik
Tiba-tiba saya pun menjadi teringat sebuah pembelajaran tatkala anak-anak mendapat kesempatan untuk memilih beberapa materi yang akan didalami masing-masing anak dalam satu semester secara individual. Kelas memiliki 25 topik. Penjelasan berkaitan dengan 25 topik tersebut disampaikan dengan ringkas dan jelas sehingga anak-anak memiliki konsep tentang topik-topik itu.
Uniknya, topik-topik itu tidak semuanya berkaitan langsung dengan mata pelajaran yang bersangkutan. Ada beberapa topik berasal dari mata pelajaran lain, misalnya "Budaya di Papua" berkaitan dengan Sosiologi, "Pengaruh Kolonial Belanda bagi Perkembangan Indonesia" berkaitan dengan Sejarah, "Perekonomian Kerakyatan" berkaitan dengan Ekonomi, dan masih banyak lagi.
Anak-anak cukup memilih dua topik saja dari 25 topik yang ada. Dan selama satu semester anak-anak akan menyelusuri dan mempelajari topik-topik itu secara mandiri dari berbagai sumber. Apakah makna di balik aktivitas ini?
Pertama, anak-anak dihadapkan pada sebuah pilihan di mana mereka bisa memilih dua dari 25 pilihan yang ada. Masing-masing anak tentunya akan memiliki pilihan yang berbeda-beda sesuai dengan minat dan kesukaan mereka. Kesempatan itu telah menghadapkan anak-anak pada sebuah perbedaan, bahkan bisa jadi anak-anak dalam satu kelas memiliki perbedaan dalam pilihan topik satu sama lainnya. Inilah sebuah pembelajaran bagi anak-anak untuk saling menghargai adanya perbedaan, bukan justru saling mempertentangkan satu sama lain. Masing-masing orang memiliki haknya masing-masing. Tatkala perbedaan itu diterima oleh anak-anak sebagai haknya masing-masing maka kedamaian kelas pun tercipta. Keadaan ini telah menjadi sebuah miniatur kehidupan yang penuh dengan perbedaan.