Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Makna (26): Merajut Jiwa dengan Sesama dalam Semangat Rendah Hati dan Tulus

13 Juli 2021   04:04 Diperbarui: 13 Juli 2021   04:05 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang yang mengira bisa hidup tanpa orang lain berarti membohongi dirinya sendiri; tetapi mereka yang mengira orang-orang lain tidak bisa hidup tanpa dia, lebih keliru lagi. (La Roche foucauld)

Orang hebat tidak pernah bisa berdiri sendiri dalam menggapai keberhasilan, kesuksesan, dan kemapanan dalam hidupnya. Kehebatan sesungguhnya buah dari tangan-tangan baik di sekitarnya yang dengan tulus dan ikhlas mengulurkan kasih dan kebaikan yang disadari maupun tidak disadari. 

Hidup manusia tidak akan lepas dari manusia lain sebagai konsekuensi kehidupan yang mengantarkan manusia pada jaringan-jaringan ide, rasa, dan tindakan komunal. 

Jaringan itu selalu memberi konsekuensi yang membentuk arah dan bentuk kehidupan manusia dalam sebuah perjalanan yang tak tahu batas dan akhirnya.

Orang yang merasa dapat hidup tanpa orang lain dan merasa berhasil tanpa campur tangan orang lain sesungguhnya orang tersebut sedang merenda kebohongan besar dalam hidupnya atas dasar kesombongan diri. 

Menjadi sebuah rasa kasihan yang begitu ironis untuk pribadi-pribadi bohong dan sombong itu, melupakan jatidari dan mengkhianati nilai-nilai kehidupan yang begitu luhur. Hidup dalam kekhilafan senantiasa perlahan-lahan akan kehilangan kebijaksanaan dan rasa syukur dalam hidup.

Illustrasi. www.newlocal.org.uk
Illustrasi. www.newlocal.org.uk
Tak ada manusia di dunia ini yang mampu lahir sendiri, berkembang sendiri, mendidik sendiri, dan pada akhirnya mengubur dirinya sendiri. 

Awal manusia diciptakan sudah pasti peran kedua orang tua menjadi sesuatu yang absolut, tak bisa ditolak bahwa berkat kasih dan cinta kedua orang tualah manusia baru terlahir ke muka bumi ini. 

Saat bayi dan masa kanak-kanak adalah masa di mana ketergantungan diri pada orang begitu besar, keluarga dan lingkungan sekitar menjadi komunitas yang mendidik dan membentuk karakter dan arah hidup pribadi ke depan.

Masa remaja dan dewasa menjadi masa pengembangan diri atas dasar passion dan cita-cita, ini pun tak akan lepas dari orang lain yang dengan waktu dan energinya menjadi mentor, sahabat, fasilitator, mitra, dan apapun itu yang mengembangkan diri. Pada waktunya pun di usia senja (lansia), kehidupan ini serasa kembali pada ketergantungan yang begitu besar pada orang lain. Ini semua adalah konsekuensi semesta dalam kehidupan bahwa manusia pada hakikatnya tidak bisa menolak keadaan dan kebutuhan bahwa manusia ada bersama orang lain sebagai komunitas pembelajar dan dalam kebersamaan itu saling merajut harapan dan pemahaman bersama untuk masa depan.

Illustrasi. www.commsatwork.org
Illustrasi. www.commsatwork.org
Ironis lagi, kesombongan diri manusia terkadang jatuh pada sisi yang lain, di mana pribadi manusia menjadi pribadi hebat yang dibutuhkan oran lain, tanpanya orang lain tak bisa hidup, tak mampu berkembang, dan bukan siapa-siapa. Situasi ini sangat mengerikan karena manusia jatuh pada kesombongan dan kekeliruan yang luar biasa. 

Keadaan ini sangat sulit dimengerti dengan pikiran jernih dan hati yang tulus karena manusia benar-benar terperosok dalam kebutaan hidup, yang tak mampu lagi melihat realita kehidupan bahwa hidup ini adalah komunitas bersama sesama dan semesta yang secara terus-menerus saling terkait dalam membangun peradaban yang sehat dan waras.

Pada akhirnya, rasa rendah hati manusialah yang dapat menyelamatkan manusia itu sendiri dengan kesadaran penuh bahwa dalam menepaki perjalanan hidup ini, manusia mesti berkolaborasi dengan sesama. 

Rasa rendah hati dan kemauan untuk selalu belajar akan mendorong manusia pada kemakmuran jiwa dan ketulusan nurani yang membuat hidup ini begitu bermakna dalam suka maupun duka. Mari merajut jiwa bersama sesama.

Illustrasi Menulis Makna.breastcancernow.org 
Illustrasi Menulis Makna.breastcancernow.org 
@Menulis Makna: adalah sebuah uraian untuk mencecap kehidupan yang begitu agung dan mulia ini. Hidup ini penuh dengan makna sebagai kristalisasi pengalaman dan refleksi untuk menjadi inspirasi bagi diri sendiri, sesama, dan semesta. 

Menulis Makna akan menjadi sejarah perjalanan makna kehidupan yang selalu abadi, tidak hilang ditelan badai kehidupan yang merusak peradaban manusia. Menulis Makna, menulis kebijaksanaan hidup. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun