Perubahan dapat terjadi kapanpun, karena apapun, dan menimpa siapapun dengan caranya sendiri yang tak terduga. Perubahan yang memporakporandakan kehidupan normal mau tidak mau mengharuskan manusia untuk mengatasinya. Dalam batas tertentu, lari adalah sebuah solusi.
Aku baru saja tiba di kota kelahiranku yang kucintai. Aku tiba di kotaku ini pada saat langit sudah gelap dan diterangi oleh bintang-bintang. Aku sungguh bersyukur masih bisa hidup dan sampai dengan selamat karena selama perjalanan banyak anak yang melempar batu. Hampir saja ada batu yang mengenai mataku. Aku tiba di stasiun dan melihat anak yang jatuh dari sepedanya. Buku anak itu jatuh berantakan dan aku segera membantunya. Setelah membantu anak itu, aku mulai berjalan ke luar stasiun untuk mencari transportasi.
Aku naik taksi untuk pergi ke rumahku dan taksi mulai berjalan. Jarak antara stasiun dan rumahku cukup jauh, oleh karena itu aku memilih taksi. Semakin lama, keadaan sekitar jalan yang aku lalui semakin berubah. Hatiku mulai resah, apakah jalan yang aku lalui salah. Kota ini telah mengalami revolusi yang sangat besar. Banyak ilalang yang tumbuh dengan subur sehingga membuat kota ini seperti pedesaan. Sekitar sepuluh menit berjalan, taksi yang aku naiki melewati sungai besar. Di ujung sungai tersebut terdapat menara yang sangat tinggi bertuliskan selamat datang.
Suasana Aku sampai di rumahku, tempat orang tuaku tinggal dan tempat aku dibesarkan. rumah sangat sepi dan aku segera masuk ke dalam rumah. Di teras rumah, aku menemukan koran edisi minggu lalu dengan tinta hitam. Aku segera membaca koran tersebut dan duduk di antara daun-daun yang berguguran. Aku membaca berita tentang wabah penyakit dengan gambar korban yang bersimbah darah. Aku segera meletakkan tasku dan menuju ke jalan raya di depan rumah. Aku menemukan tetes-tetes darah berbentuk seperti tanda koma. Aku mengikuti darah tersebut dan akhirnya aku tiba di sebuah rumah sakit yang besar.
Rumah sakit itu memiliki gerbang yang tinggi dan berantai. Aku mencoba memanjat gerbang itu dan akhirnya aku bisa masuk ke halaman rumah sakit itu. Aku menemukan lagi tetes-tetes darah tetapi berbentuk seperti tanda titik. Aku juga menemukan tanda pengenal berbentuk lingkaran dan aku mengambilnya. Aku masuk untuk menyusuri rumah sakit tersebut dan aku menemukan botol berserakan. Aku tiba di halaman belakang dan ada banyak orang yang memakai baju berwarna biru. Aku melihat orang tuaku yang sedang duduk dan aku segera menghampirinya.
Aku dan orang tuaku memutuskan untuk pergi dari kota ini karena takut akan wabah penyakit. Kami beranjak dari kursi dan bergegas untuk menuju ke bandara. Aku sempat membeli tiga gelas kopi dan beberapa makanan untuk bekal perjalanan. Aku dan orang tuaku langsung berangkat ke bandara untuk meninggalkan peradaban ini. Tiba di bandara, banyak manusia yang duduk dan kertas-kertas berserakan. Saat itu, bandara dijaga ketat oleh banyak orang yang membawa panah dan tombak. Akhirnya, aku dan orang tuaku bisa pergi dari kota ini, entah sampai kapan ini harus kami jalani.
*WHy-eoPi
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.
***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H