#Anak yang cerdas itu sejatinya adalah yang mampu membuat keputusan, saat jatuh sekali, dia cepat bangkit kembali. Bukan yang hanya bisa mengandalkan rapor dan ijazahnya ke mana-mana. Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang bisa mengandalkan dirinya sendiri. Bukan hanya mengandalkan ijazah, tetapi tidak adaptif terhadap perubahan.
Pengalaman menjadi guru belasan tahun, menarik bagiku mencermati satu hal ini dari banyak fenomena dan fakta dunia persekolahan, yakni tentang karakter anak. Tentunya aku sangat senang dan bangga ketika anak-anak didikku memperoleh hasil akademik yang baik bahkan sempurna. Aku tak jarang kagum dengan mereka yang bisa menjadi yang terbaik dalam nilai akademik, menjadi juara kelas, menjadi juara angkatan. Pastinya mereka dan orang tuanya juga senang dan bangga. Apalagi bagi mereka yang juara, namanya akan disebut dan diminta maju ke depan pada saat upacara bendera menjelang pembagian hasil belajar. Menjadi terkenal di seluruh penjuru sekolah, dikenal oleh para guru, staff, dan teman-teman.
Akan tetapi, di sisi lain kadang aku sedih dan prihatin dengan anak-anak hebat itu. Tidak sedikit dari mereka hanya memiliki misi dan prioritas dalam sekolah hanyalah untuk mencapai nilai tinggi, menjadi hebat dalam akademik saja. Mereka akan menolak bahkan tidak melihat sisi positif dari kegiatan-kegiatan non-akademik, seperti terlibat dalam organisasi siswa (OSIS), aktif dalam berbagai kepanitiaan, atau ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan sekolah yang sifatnya non akademik. Bagi kebanyakan mereka, hal-hal non-akademik itu hanyalah penghalang untuk menjadi sukses karena menyita waktu belajar dan les. Sangat disayangkan.
Pengalamanku mendampingi anak-anak muda di persekolahan, anak-anak yang sukses secara akademik belaka akan tumbuh menjadi anak yang sangat egois dan lemah dalam sisi-sisi humanis, seperti sosialisasi, kepedulian, nurani, persudaraan, dan semangat hidup bersama. Anak-anak yang sukses secara berimbang antara akademik dan non-akademik, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diterima berbagai kalangan, memiliki kepribadian yang menyenangkan, dan dewasa dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan.
#Ijazah bukan kendaraan bagi hidup kita. Itu hanya bukti bahwa kita telah bersungguh-sungguh mengejar ilmu. Dan sekolah masa kini, tidak boleh ada tamatnya. Selesai dari pintu universitas, bukan berarti kita selesai belajar. Kelulusan justru permulaan belajar yang sesungguhnya.
Setiap hari aku berangkat kerja pukul 05.30 dan 05.50 sudah sampai di kantor. Masih ada waktu 50 menit bagiku untuk membaca atau menulis di meja kerja sebelum pukul 06.40 untuk briefing pagi bersama seluruh komunitas yang dilanjutkan doa pagi dan perutusan. Di sela-sela waktu kerjaku, aku pasti menghabiskan waktu untuk membaca dan membaca sambil sesekali membuat tulisan. Yang jelas berbeda dari meja kerjaku dari yang lain adalah, begitu banyak buku bacaan serasa mini perpustakaan. Hal ini dikarenakan oleh betapa cintanya diriku pada buku-buku.
Rhenald Kasali dalam BAPER (Bawa perubahan) menegaskan:
#Kita bisa berkaca pada anak-anak di Paud dan TK Kutilang, bermain saja mereka diajarkan untuk tuntas. Ini akan memupuk kemampuan fokus dan tanggung jawab semenjak usia dini. Inilah permasalahannya yang banyak terjangkit di pemimpin dan birokrat kita, tidak tuntas melayani.
Sepakat dengan Rhenald Kasali bahwa segala sesuatu mestinya dilakukan secara tuntas atau istilahku adalah mendalam, tidak setengah-setengah. Aku mencoba untuk belajar dengan mendalam, sehingga mencoba belajar dari banyak hal, seperti lewat berbagai inspirasi buku atau tulisan di berbagai media, lewat diskusi dan obrolan ringan, lewat menulis berbagai ide, lewat observasi, dan juga lewat melihat film-film. Tahun 2009 untuk pertama kalinya aku diberi tugas mendampingi anak-anak jurusan IPS yang terkenal (maaf) buangan karena tidak bisa masuk IPA, secara kemampuan akademis rendah, dan cenderung anak-anak nakal atau bermasalah. Pastinya tidak semua demikian, karena yang pintar dan memang pilih IPS, kemampuan akademisnya tinggi, dan anak baik-baik juga ada.