Pagi terkadang menyelamatkan banyak orang, setidaknya selamat dari mimpi buruk. Namun pagi juga kadang mengacaukan kebahagiaan, tatkala mimpi indah dalam pesona dan gejolak jiwa. Akan tetapi, pagi tetaplah pagi yang selalu setia pada malam, yang tak akan berkhianat pada mentari.
Pagi ini kukayuh sepedaku menuju sekolah sambil membawa buku-buku yang tertata rapi di tasku. Meski mataku ini mengantuk, aku harus tetap mengayuh sepeda ini. Sepedaku yang berwarna biru ini sangat aku sayangi karena sepeda ini adalah kado ulang tahunku. Sambil mengayuh sepeda ini kutatap langit biru sambil membayangkan hidupku di masa depan. Akankah karirku akan sukses dan bersinar layaknya mentari di langit? Tiba-tiba imajinasiku langsung buyar karena aku tersandung batu dan jatuh tersungkur.
Setelah bangun dan membersihkan lututku sepertinya aku tersesat. Aku melihat sungai yang bahkan tidak kukenali, kuikuti arus sungai yang tenang ini. Terdengar gemercik air yang menenangkan pikiran serta ilalang dan belalang yang membuat alam semakin hidup. Sambil menuntun sepeda sejenak aku lupa akan kewajibanku untuk berangkat sekolah. Hatiku sangat tenang melihat alam yang asri ini. Nampaknya aku sudah berjalan terlampau jauh dan akhirnya aku sampai di sebuah desa. Desa yang sangat tua dan telah melewati masa revolusi. Kulihat menara yang menjulang tinggi dan terlihat sangat tua.
Aku berjalan menuju menara itu melewati jalan raya yang sudah tua pula. Terlihat daun-daun berserakan dan bercak-bercak darah di dinding membentuk koma dan titik. Sungguh menara ini sangat tua, dilihat dari dinding menara yang rapuh. Adanya koran yang berserakan di atas meja bersama tinta-tinta menunjukkan betapa tuanya menara ini. Nampaknya menara ini bekas persembunyian para penulis di zaman penjajahan. Kubayangkan betapa sedihnya penulis-penulis di sini dihabisi oleh para penjajah.
Kutelusuri menara ini dan kubaca halaman demi halaman, titik demi titik. Koran-koran di sini masih hitam putih dan belum berwarna. Kutaruh kembali koran ini dan kulihat langit-langit menara ini yang berwujud corong berbentuk lingkaran. Tiba-tiba ada botol kaca yang jatuh "pyarr!" begitulah bunyi botol yang sangat mengejutkanku dan hampir mengenaiku. Mundurlah aku sambil mencari sumber jatuhnya botol dan tersandung rantai-rantai berkarat ini, sekali lagi aku terjatuh.
Saat kulihat lagi corong menara ini tiba-tiba datanglah sosok hitam manusia menakutkan terbang ke arahku. Dengan kedua tangannya yang lurus ingin mencekikku, aku pun mundur secepat kilat namun tersandung kursi terjatuh. Aku pun berteriak-teriak ingin menghindar sambil melempar apapun yang ada di sekitarku. Aku mendapati gelas lalu kulempar ke arahnya, aku menggulingkan badan sampa ke kursi goyang tua. Entah ada sejak peradaban apa kursi ini, terlihat sangat tua dan rapuh. Sosok itu muncul di hadapanku dan langsung mencekikku sampai aku tak bisa menyentuh lantai lagi. Aku langsung menendangnya dan bangun, bangun dari alam mimpiku. Rasanya berbeda sekali, dari tempat tidurku aku masih melihat ada panah kesayanganku di dinding. Kulihat jam menunjukkan angka 10 yang artinya aku sudah terlambat sekolah. Aku melanjutkan tidurku dan tidak pergi ke sekolah.
*WHy-nGeL
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.
***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H