Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (28): Ini Aku... Sejarah Kelam Peradaban

20 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 20 Februari 2021   07:08 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah bukan sekadar catatan peristiwa penting masa lampau dan menjadikannya kenangan dan pelajaran di masa sekarang dan depan untuk khalayak. Sejarah diri dalam pergulatan hati dan pergolakan budi adalah sejarah penting setiap pribadi dalam membangun mozaik hidupnya.

Namaku Bintang, saat itu aku masih berumur 12 tahun dan hidup di desa yang tidak begitu ramai. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP, tepatnya di SMP Langit Biru. Seperti biasa, setelah menata buku dan memakai kacamataku aku pergi ke sekolah. Waktu itu aku hanya memiliki sepeda kecil berwarna hitam, sebagai satu- satunya transportasiku ke sekolah. Langit masih sedikit gelap pagi itu wajar karena aku harus berangkat pagi supaya tidak terlambat ke sekolahku yang jauh.

Desaku dikelilingi sungai yang sangat besar. Namun pada saat itu kami hanya punya satu jembatan besar sebagai akses keluar masuk desa. Kukayuh sepedaku melewati jembatan tersebut, namun tiba-tiba terdengar suara ledakan. Aku kaget dan terjatuh dari sepeda kesayanganku. Hatiku berdetak sangat cepat, sampai aku tak kuasa untuk berdiri. Lalu terdengar pengumuman dari menara desaku, untuk segera bersembunyi di rumah masing-masing. Namun aku malah melanjutkan perjalananku, kukayuh sepedaku yang rodanya sudah kotor penuh ilalang, menuju sekolah. Entah apa yang aku pikirkan saat itu. Yang pasti, nantinya hari itu menjadi hari di mana revolusi kudeta terjadi.

Kukayuh sepedaku dengan perlahan-lahan sambil menahan rasa cemas di dada. Baru sebentar aku keluar dari desa aku sudah tiba di jalan raya. Anehnya, jalanan sangat sepi, nampak kendaraan--kendaraan ditinggalkan di tengah jalan. Kulihat sebuah truk dengan sepucuk koran yang tersangkut di jendelanya. Kubaca koran tersebut dan di pojok kanan atas setelah koma, terdapat tanggal hari ini, 12 Mei. Kutinggalkan kertas tinta tersebut dan kulanjutkan perjalananku dengan badan yang masih gemetaran.  Angin bertiup sangat kencang membawa daun-daun menuju ke jalanan dan daun tersebut berbercakan darah.

Sekolahku sudah dekat, sekitar 1 kilometer lagi. Tiba-tiba terdengar suara tembakan beruntun, suara tersebut terdengar sangat dekat. Kukayuh sepedaku dengan lebih cepat, terlalu cepat hingga rantainya terputus. Akupun terjatuh dan keluarlah cairan warna merah dari lututku. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat dari belakangku. Aku panik dan takut, tanpa menoleh ke belakang aku pun berlari ke halaman warga. Di sana aku menemukan meja taman yang penuh dengan botol anggur kosong. Aku bersembunyi di bawah meja tersebut sambil menggenggam satu botol anggur, siap untuk memukul siapapun orang tersebut. Orang tersebut semakin dekat, bermodalkan nekad aku keluar dari meja dan bergegas menyerang orang itu. Namun itu hanya seorang gadis, dan nampaknya dia adalah kakak kelasku, bisa kulihat dari logo lingkaran di kantongnya.

Kakak kelasku tersebut, mengajakku untuk lari ke hutan jati yang berada di belakang rumah warga tadi. Sesampainya di sana, aku merasa aman karena tidak ada satu manusiapun di sana. Ya, tidak satupun termasuk kakak kelasku tersebut. Aku kaget bagaimana bisa ia menghilang sangat cepat. Aku berlari mencari dia, yang bahkan kutaktahu namanya. Langkahku terhenti di sebuah pohon. Di bawah pohon tersebut terdapat kursi yang diduduki seorang gadis. Pakaiannya tercabik-cabik, badannya penuh dengan tusukan kaca dan panah. Dia sudah terkapar tanpa nyawa dan tangan kirinya menggenggam kertas. Kubaca kertas tersebut, "Ini aku, peradaban 98". Dan ya, dia adalah kakak kelasku.

*WHy-DyuTa

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini. 

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun