Hidup sesungguhnya sebuah urutan peristiwa yang terangkai satu sama lain dalam kombinasi rasa dan asa. Hidup serasa kumpulan film pendek yang terus berputar setiap hari, dari pagi sampai malam menanti. Hidup sebagai senilah yang menjadi pembeda: antara pecundang atau pemenang.   Â
Langit mulai menggelap, dan udara pun dingin menyelubungi badanku. Bintang mulai bersinar ditemani oleh bulan dan aku langsung terbangun. Membuka mata dan bergegas mandi untuk bersiap pergi ke rumah temanku. Setelah aku selesai mandi, aku langsung mengambil jaket dan mengendarai sepedaku. Hampir kelupaan, aku meninggalkan bukuku di rak meja belajarku. Aku langsung kembali pulang ke rumah untuk mengambilnya karena hidupku sangat berpegang pada buku itu.
Belajar bersama untuk merevolusi diri menjadi anak yang lebih giat. Itulah semangat yang berkobar dalam diriku saat ini. Pulang dengan hati gembira dan menarik nafas lega setelah kejadian buku tertinggal itu. Tertidur pulas, dan kuhirup udara pagi di desaku sambil membasahi tenggorokanku dengan segelas air hangat. Bergegas mandi dan bersiap dengan seragam sekolah, aku berangkat bersama ayahku dengan mengendarai motor. Melewati jembatan kayu berwarna merah yang berada di atas sungai sambil bersenandung menikmati pemandangan pagi itu. Ilalang-ilalang yang beterbangan di sekitar sawah juga menemani perjalananku menuju sekolah dan sebuah menara yang sesekali mulai tampak.
Menemui jalan raya, yang menandai bahwa sebentar lagi aku akan sampai ke sekolahku. Turun dari kendaraan, kedatanganku disambut dengan suara gesekan dedaunan hijau dari pohon besar samping kelasku. Menaruh tas, mempersiapkan alat tulis, dan mengambil bolpoin tinta berwarna darah. Ibu guru datang dengan membawa koran sebagai media pembelajaran hari ini. Pelajaran Bahasa Indonesia hari itu adalah materi penulisan tanda baca, salah satunya penggunaan tanda "koma". Tanda koma yang ditandai dengan garis bawah tinta merah itu, membantu kami dalam belajar.
Tanda "titik" juga kami pelajari sebagai tanda baca akhir dari rantaian kata-kata yang telah kami susun. Dengan bolpoin tinta berwarna biru dan ditandai dengan lingkaran, membantu aku memahami materi. Di tengah pembelajaran, tiba-tiba aku cegukan dan mengambil botol minumku dari dalam tas. Aku meminta izin kepada guru untuk keluar menuju halaman depan kelas karena cegukanku yang belum berhenti. Seteguk, dua teguk hingga hilang cegukan itu, menarik nafas dan mencoba tenang.
Tak lama setelah aku kembali ke kelas, bel berbunyi dan menandakan waktunya untuk pulang ke rumah. Kumulai beberes kertas-kertas di meja, serta alat tulis lainnya masuk ke dalam tasku. Setelah berdoa pulang, tak lupa aku memasukkan kursi ke dalam meja sebelum meninggalkan kelas. Aku menunggu kedatangan ayahku di depan gerbang sekolah sambil melihat pedagang mainan yang sedang berjualan. Ia menjual berbagai mainan yang salah satunya adalah permainan panah yang terlihat menarik. Tak lama ayah datang dan kami langsung pulang ke rumah sambil melihat banyak manusia berkendara seiring dengan kendaraanku. Sampailah kami di peradaban desa, tempat tinggalku dan keluargaku. Bagai segelas air hangat, begitulah suasana hatiku hari ini.
*WHy-debB
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.Â
***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H