Koma atau titik, bukanlah sekadar tanda baca dalam rangkaian kata yang membentuk makna. Tanda koma dan titik dalam hidup sesungguhnya bagian dari irama peradaban dengan manusia dan semesta di dalamnya sehingga setiap insan tidak akan lepas dari tanda baca kehidupan.
Aku membuka pintu teras dan menatap ke langit malam. Malam ini, langit penuh dihiasi bintang-bintang yang terang nan indah. Sepertinya, dunia sedang baik-baik saja, tidak seperti aku yang sedang gelisah memikirkan hidup. Aku berjalan dengan buku jurnalku yang sampulnya berupa fotoku bermain sepeda, dan duduk di kursi teras. Mataku mulai menyusuri rumah-rumah tetanggaku yang berbaris rapi. Suasananya sepi dan tidak ada yang terjaga kecuali aku.
Suasana malam ini sangat tenang, bahkan terlalu tenang bagiku. Sama seperti hidupku yang saat ini terasa sangat tenang, terlalu hambar! Rasanya, semua langkahku ke depan sudah ditentukan oleh orang lain dan hidupku tinggal mengalir seperti sungai. Tetapi, apakah ini kehidupan yang aku idam-idamkan dari dulu? Hatiku mendambakan sebuah perubahan, bagaikan sebuah desa yang mendambakan sebuah revolusi. Aku ingin kehidupanku terasa hidup kembali, dan aku ingin membangun menara kehidupanku sendiri. Aku tidak ingin menjadi seperti ilalang yang hanya menunggu ke arah mana angin berlalu.
Jam dinding di dalam rumah berdentang keras, menunjukkan pukul dua pagi. Mataku mulai terasa berat; aku masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintu. Aku menatap koran yang tergeletak di atas meja makan. Di halaman depan, ada berita tentang pembunuhan yang baru terjadi di jalan raya. Terlihat dari foto yang terpampang itu, darah korban tercucur ke mana-mana.Â
Kuambil koran tersebut dan aku baca-baca lagi sampai tintanya membekas di tanganku. Aku letakkan kembali koran tersebut dan masuk ke kamar tidur. Tak ada yang kupikirkan selain bagaimana cara mengubah hidupku menjadi sesuatu yang menarik, tidak berhenti di sebuah koma saja. Di luar sunyi senyap, tidak ada suara daun ataupun angin, dan sunyi itu pun membawaku ke alam mimpi.
Esoknya, saat aku sampai di sekolah, aku bingung. Semua orang di sekolahku sedang membicarakan hal yang sama: pembunuhan yang dimuat di koran yang aku baca kemarin. Sudah ada enam kejadian serupa selama sebulan ini yang menurutku tidak penting karena tidak ada kaitannya denganku.Â
Lantas, untuk apa aku memikirkan rantai pembunuhan ini? Ternyata, setelah aku selidiki, aku belum membaca berita yang dimuat di halaman pertama itu dengan seksama.Â
Ternyata, si pembunuh meninggalkan pesan, dalam bentuk kertas yang disisipkan di botol kecil. Kertas tersebut hanya ada sebuah lingkaran merah, dan ada titik di tengahnya.Â
Di pojok kanan bawah tertulis sebuah tanggal, yaitu, 29 Februari 2000, dan itu adalah tanggal lahirku! Seketika itu, aku langsung menjadi takut; apa yang diinginkan sang pembunuh yang tak dikenal itu denganku?
Detik itu, aku langsung memutuskan untuk pulang karena aku tidak berani masuk sekolah. Hatiku takut dan berdebar-debar, tetapi dalam lubuk hatiku, aku merasa bahwa mungkin Tuhan sedang menjawab doaku.Â