Dari bangun tidur sampai menjelang tidur malam lagi begitu banyak kegiatan yang kita lakukan dengan tingkat kesibukan yang lumayan dahsyat. Dengan berbagai kesibukan itu, biasanya kita meyakini bahwa hidup kita akan sukses. Sesungguhnya kesibukan tidak sama dengan produktivitas, jika kesibukan itu hanyalah sebuah urutan waktu dengan kegiatan tertentu tanpa tertata dengan prioritas yang sistematik. Kesibukan tidaklah sama dengan pencapaian tertentu karena pencapaian membutuhkan metode cerdas untuk mencapainya.
Hukum prioritas merupakan kunci efektif dalam menata kesibukan dari hari ke hari yang lain. Tanpa prioritas maka yang terjadi adalah pemborosan waktu, energi, dan pikiran tanpa produktivitas yang optimal. Celakanya kita seringkali tidak mendapatkan hukum prioritas ini dalam proses belajar di sekolah. Kita terlalu dibiasakan untuk belajar semua hal dalam proses belajar yang begitu panjang itu. Akibatnya, kita hanya menguasai sedikit-sedikit tanpa adanya kedalaman pengetahuan dan keterampilan pada fokus tertentu.
Mata pelajaran di sekolah terlalu banyak dengan materinya yang begitu menumpuk. Anak-anak menghabiskan banyak waktu menghafal dan mempersiapkan tes untuk diuji tentang materi tertentu. Ironisnya, sepulang sekolah anak-anak masih harus belajar lewat les berbagai mata pelajaran demi mencapai kemahiran materi. Proses belajar seperti itu telah menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan anak-anak. Masa indah sebagai anak dan remaja berlalu penuh tekanan dan kekhawatiran.
Sekolah sudah waktunya belajar tentang hukum prioritas sehingga anak-anak tidak kehilangan masa-masa menyenangkan dan ceria bersama teman-teman dan keluarga. Masa kanak-kanak dan remaja adalah masa yang paling indah dan mengesankan. Petualangan bersama teman-teman sebaya adalah sebuah kenangan di masa depan yang begitu menggelikan sekaligus membahagiakan. Indah rasanya ketika anak-anak dan remaja dapat menikmati masa-masa petualangannya tanpa harus dirampas oleh doktrin-doktrin teori pembelajaran.
Pembelajaran di sekolah bukanlah sesuatu yang terlepas dari masa kanak-kanak dan remaja tetapi menjadi bagian di dalamnya. Sekolah yang didesain dengan mempertimbangkan konteks kanak-kanak dan remaja adalah sekolah yang mendukung untuk menghidupi masa kanak-kanak dan remaja itu. Sekolah yang menghidupkan adalah sekolah yang berfokus pada "apa yang diperlukan anak didik untuk hidupnya", bukan "apa saja yang harus diberikan sekolah pada anak didik".
Sekolah sejatinya menyesuaikan dan meng-cover kebutuhan anak didik, bukan jusru memaksa anak didik memenuhi tuntutan sekolah. Jika tidak berhati-hati, sekolah telah melakukan "perampasan intelektual" Â pada hidup anak-anak dengan idealisme yang justru mematikan anak-anak. Atas nama kurikulum formal (pemerintah) kadangkala anak-anak dijadikan korban dengan menerapkan pembelajaran yang sangat berorientasi pada materi, bukan pembelajaran yang berorientasi pada hidup (learning for life).
Sekolah sebagai sekolah kehidupan bagi anak-anak pasti akan memberikan kesempatan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya bagi anak-anak untuk mencari jawab atas kebutuhan hidupnya. Â Sekolah akan mendesain kurikulum secara bijak dengan mempertimbangkan cara pandang anak, kebutuhan anak, dunia anak, dan kehidupan nyatanya. Materi atau teori pastinya bukan menjadi sarana utama belajar, hanya sebagai pengantar dan pendukung pemahaman.
Pendidikan kita masih terlalu paranoid dengan sekolah kehidupan karena khawatir anak-anak akan menjadi bodoh jika tidak belajar banyak pelajaran dan banyak materi serta mencapai skor yang tinggi. Pendidikan kita masih terlalu mengandalkan data statistik yang menunjukkan kualitas pendidikan secara kuantitatif. Sekolah kehidupan bergerak dan mengembangkan kualitas anak secara kualitatif yang terwujud dalam berbagai habitus (kebiasaan) baik yang mengacu pada kedalaman intelektual, nurani, bela rasa, dan komitmen. Sekolah kehidupan mengolah kualitas hidup yang utuh dan menyeluruh.
Sekolah kehidupan merupakan kristalisasi dari paradigma pendidikan yang memanusiakan  manusia menuju taraf insani. Oleh karena itu, sekolah harus berani menentukan prioritas-prioritas tertentu yang mengacu pada pengembangan manusia. Segala kebiasaan baik akan lebih langgeng daripada sekadar pemahaman materi yang mudah dilupakan setelah diujikan. Sekolah hendaknya menjadi tempat pengembangan kebiasaan baik itu sehingga mendarah-daging dalam pikiran, nurani, rasa, dan tindakan.
Jarang sekali anak-anak ditanya setiap kali akan proses pembalajaran di kelas, "Mau belajar apa kamu jam ini?" Proses pembelajaran berjalan begitu rapi dari awal sampai akhir berdasarkan desain dan asumsi sang guru. Anak-anak masuk kelas begitu saja, belajar begitu saja pula, dan akhirnya selasai begitu saja pula. Seolah-olah belajar adalah sebuah rutinitas yang begitu monoton. Guru adalah raja-raja kecil yang tak bijak dalam dunia pendidikan.
Penting menanyakan hasrat dan kebutuhan anak di awal pembelajaran. Tanpa pertanyan itu, pembelajaran yang dilakukan adalah sebuah "kediktatoran" dalam dunia pendidikan. Penting bagi pendidik mengetahui motivasi belajar anak karena pembelajaran tanpa motivasi yang jelas adalah perjumpaan semu yang dipaksakan demi formalitas pendidikan belaka.