Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komunikasi sebagai Instrumen Kepemimpinan

24 Maret 2018   08:53 Diperbarui: 24 Maret 2018   09:06 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Permasalahan apapun di dunia ini memiliki penyebab dan solusi yang sama, yakni komunikasi. Sebuah perusahaan mulai menurun perkembangannya karena kemungkinan besar adanya komunikasi yang buruk antara direksi dengan pekerja, bahkan juga bisa disebabkan hancurnya komunikasi antar anggota direksi atau antar pekerja. Sebuah keluarga mulai berantakkan juga disebabkan oleh kurangnya atau tidak adanya komunikasi yang baik antar orang tua, antar anak, atau antara orang tua dan anak. Begitupula sebuah negara mendekati ambang kehancuran, disebabkan adanya komunikasi yang tidak sehat antar anggota masyarakat, antar pemimpin, atau antara pemimpin dan rakyat.

John. W. Gardner berkata, "Jika saya harus menyebut instrumen kepemimpinan serbaguna, jawaban saya adalah komunikasi." Semakin jelaslah bahwa komunikasi memiliki peran yang sangat vital dalam berbagai aspek kehidupan. Ketika komunikasi diabaikan, yang terjadi adalah ketidakberesan atau bahkan kehancuran. Ketika masalah sudah terjadi, komunikasi pulalah yang menjadi kunci utama untuk menyelesaikannya.  Dengan cara berpikir lain, sesungguhnya membangun keharmonisan dan keselarasan sangat mudah, yakni dengan mengembangkan komunikasi yang sehat.

Pendidikan yang merupakan sebuah proses memanusiakan manusia menuju taraf insani sudah seharusnya juga mengedepankan komunikasi dalam setiap dinamika pengembangannya, baik dalam tataran konseptual maupun praktis. Guru sebagai orang dewasa dan professional kadangkala lupa bahwa siswa yang dihadapi adalah anak muda yang sedang belajar dengan segala potensi, kebutuhan, dan perkembangan zamannya. Yang sering terjadi adalah sebuah penghakiman bahwa para siswa dianggap bodoh, nakal, tidak fokus,  bahkan dianggap tidak mampu mencapai target yang seharusnya dicapai. Ini adalah sebuah tragedi pembelajaran di dunia pendidikan.

Tragedi ini bermula dari kurangnya komunikasi yang buruk antara guru dan para siswa, lalu hanya bisa diselesaikan dengan komunikasi tentang "apa kebutuhan para siswa dan bagaimana kecenderungan mereka belajar?" Kelas sesunguhnya adalah tempat belajar bersama antara guru dan siswa. Dengan demikian, keduanya harus saling belajar bersama untuk sebuah kebenaran sejati dalam kesepahaman yang saling menghargai satu sama lain. Oleh karena itu, komunikasi sangat dibutuhkan dalam proses saling belajar itu.

Bahkan lebih dalam lagi, kelas merupakan sebuah pengalaman belajar kepemimpinan hidup bagi guru dan siswa. Guru akan selalu belajar sepanjang masa secara terus menerus tentang kreativitas, inovasi, ketulusan, dan kesabaran dalam membantu siswa belajar. Inilah yang disebut kepemimpinan edukatif dengan mengembangkan diri, bukan malah menyalahkan orang lain atas semua kegagalan dan ketidakmampuan yang ada. Di sisi lain, para siswa pun  akan selalu belajar tentang mengembangkan keingintahuan, kedalaman berpikir, nilai kehidupan, dan penyelarasan rasa. Para siswa senantiasa mengembangkan kepemimpinan diri dengan belajar untuk hidup, bukan belajar sekadar untuk nilai (score) belaka.

Kelas sebagai tempat belajar kepemimpinan yang mengedepankan komunikasi tentunya menjadi momen yang baik bagi guru dan siswa. Gordon Bethune memperoleh dukungan tim ketika memimpin Continental Airlines karena konsistensinya dalam komunikasi. Anak buahnya yakin bahwa mereka bisa mengandalkan dirinya dan ucapannya. Belajar dari Gordon, penting bahwa guru bisa diandalkan dan dipercaya para siswa. Oleh karena itu, komunikasi setiap saat antara guru dan siswa harus terjalin sehingga siswa tidak merasa frustasi akan pembelajaran yang terjadi. Komunikasi yang baik pastinya akan melahirkan kenyamanan dan keantusiasan dalam belajar.

Intesitas komunikasi kadangkala belum cukup karena juga dibutuhkan kejelasan dalam komunkasi. Kebahagiaan seorang guru salah satunya adalah para siswa mampu memahami dan menginternalisasi apa yang disampaikan. Bukan sebaliknya, guru malah bangga ketika siswanya tidak mampu memahami karena dengan begitu guru merasa hebat dan pintar. Benarkah demikian? Kecerdasan seseorang sesungguhnya bukan terletak pada tidak dipahaminya apa yang disampaikannya karena levelnya begitu tinggi, tetapi kecerdasan seseorang justru terletak pada kemampuannya membuat segala sesuatunya mudah dan sangat membantu banyak orang. Kejelasan komunikasi dalam pendidikan akan sangat mengesan dari ketulusan dan kejujuran dalam bertutur dan bersikap.

Yang tidak kalah penting dalam komunikasi adalah kesopanan dan kesantunan. Di era milenial ini kadangkala kesopanan mulai terabaikan dan tergantikan dengan logika belaka. Negara menjadi gaduh karena komunikasi yang terjalin tidak tulus dan jauh dari kesantunan.  Yang terjadi akhirnya adalah "panggung kebodohan pemimpin". Di dalam kelas pun sudah seharusnya komunikasi yang terjalin adalah komunikasi santun  sehingga tercipta keselarasan dalam belajar. Ketika kesantunan diabaikan dalam proses belajar, maka yang terjadi adalah kekacauan antar pribadi. Guru akan terjebak pada penghakiman yang mengabaikan nurani dan kasih mendidik, sedangkan para siswa jatuh pada kejengkelan yang berimbas pada rasa apatis untuk belajar.

Kepemimpinan tidak hanya sekadar jabatan atau posisi. Profesi, status, ataupun personal adalah bagian dari kepemimpinan. Maka, dengan sendirinya setiap orang membutuhkan komunikasi sepanjang masih hidup. Setiap orang pun bisa menjadi pemimpin yang baik setiap waktu dan di mana pun berada. Pemimpin yang baik pastinya mampu berkomunikasi dengan baik, yakni mampu mendengarkan, mengajak, dan mendorong siapapun untuk berpartisipasi dalam hidup ini.

Kepemimpinan edukatif yang melibatkan guru dan siswa pun sudah seharusnya merajut keharmonisan dan keselarasan dalam belajar untuk mengembangkan hal-hal humanis. Apa yang terjadi pada para siswa senantiasa mencerminkan gurunya karena keduanya adalah bagian dari keselarasan dan keharmonisan itu sendiri. Hidup dengan kepemimpinan diri dalam kerangka mengedukasi diri dan orang lain adalah hidup yang penuh rahmat dan terberkati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun