Dari Wikipedia disebutkan, sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih kita kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".
Kolom Dewantara yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik eens Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Ernest Douwes Dekker, tahun 1913. Isi artikel itu terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh siinlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlanderdiharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Meminjam judul kolom Dewantara, kita dapat mengungkapkan hal yang sejenis akan pendidikan kita dengan menyatakan "Seandainya Aku Seorang Pengambil Kebijakan Pendidikan Indonesia". Ungkapan ini pun menjadi sebuah keprihatinan (baca: kritik) akan keadaan pendidikan di Indonesia yang carut-marut dan justru dikalahkan dengan sebuah euforia akan kualitas pendidikan tanpa melihat kenyataan mengenaskan yang sudah ada dan berlangsung cukup lama.
Anak-anak Indonesia terus-menerus diombang-ambing badai kurikulum yang tidak menentu seiring ganti menteri dengan idealisme dan obsesinya masing-masing. Belajar di sekolah semakin dirasakan sebagai beban berat bagi anak-anak bangsa ini dengan tuntutan mata pelajaran yang begitu banyak dan materi pelajaran yang begitu menumpuk.
Sekolah bukan lagi menjadi arena belajar hidup bersama teman sebaya dengan pendampingan orang dewasa dalam suasana yang menyenangkan dan antusias, tetapi sekolah menjadi virus yang perlahan-lahan membunuh potensi dan kebahagiaan masa-masa indah generasi muda lewat teori-teori yang harus dihafalkan dan diujikan.
Meminjam spirit Dewantara, seandainya aku seorang pengambil kebijakan pendidikan Indonesia, kiranya ini adalah sebuah penghinaan akan potensi bangsa ini. Bahkan ini akan menjadi sebuah impian yang hanya ada di dunia antah berantah bagi anak-anak untuk belajar dalam konteks alam pikir dan alam lingkungan mereka.
Sekolah menjadi sebuah rutinitas yang memaksa dan membunuh potensi anak bangsa. Mungkin inilah yang disebut dengan euthanasia pendidikan, pembunuhan perlahan-lahan sebuah generasi melalui konsep pendidikan yang menuntut dan anarkis.
Robert J. Marzano dalam bukunya Dimensing of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction menekankan pentingnya komitmen dalam pengembangan pendidikan. Komitmen merupakan sinergi antara kemampuan dan kemauan.
Tanpa sinergi itu maka ada dua kemungkinan, yakni pendidikan tanpa kemauan maka akan menjadi omong kosong belaka, atau pendidikan tanpa kemampuan maka hanya menjadi ide di langit nun jauh di sana. Lalu, bagaimana dengan pengambil kebijakan pendidikan di Nusantara tercinta ini?
Sekiranya aku seorang pengambil kebijakan pendidikan Indonesia, akan sangat tersinggung dengan ujian nasional (UN) yang telah merampas pendampingan guru pada anak-anak dalam waktu yang cukup lama lewat aksi UN dalam beberapa hari. Adanya perubahan tujuan UN, tetap saja masih menimbulkan kegaduhan pendidikan di tataran sekolah sehingga pembelajaran masih terfokus pada UN dengan mengorbankan esensi belajar kontekstual dan reflektif.