Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi Mental Edukasi Itu Bernama Literasi

13 Maret 2018   08:31 Diperbarui: 13 Maret 2018   08:56 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerakan Literasi Sekolah yang dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak lewat kebiasaan baca dan tulis. Gerakan ini menjadi gerakan bersama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk memajukan kualitas pendidikan yang merujuk pada tingkat kemanusiaan yang beradab.

Kualitas pendidikan sebuah negara rupanya tidak akan lepas dari aktivitas baca-tulis yang diterapkan setiap saat, bahkan baca-tulis sudah menjadi kebiasaan hidup keseharian. Semakin dimantapkan bahwa negara yang maju secara pendidikan ditopang dengan tingginya kebiasaan baca-tulis (literasi), seperti: Finlandia, Swiss, Belanda, Amerika Serikat, dan Jerman.

Data UNESCO tahun 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001. Data ini berarti bahwa dari 1.000 penduduk Indonesia, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, tampak miris bahwa di antara 250 juta penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. 

Semakin tragis tatkala kita melihat posisi Indonesia di ASEAN. Di antara negara-negara ASEAN, indeks tingkat membaca orang Indonesia menempati urutan ketiga terbawah bersama Kamboja dan Laos.

Semakin miris lagi, pemeringkatan terbaru menurut data World's Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi Indonesia berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti. Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika.

Data-data di atas menunjukkan betapa tertinggalnya bangsa kita dalam budaya baca-tulis dan sekaligus betapa tragisnya perkembangan pendidikan di negeri tercinta ini. Fenomena dan fakta ini seharusnya menjadi dasar kuat bahwa negara sedang darurat dalam bencana literasi nasional. Belajar dari semangat Nelson Mandela dalam membangun bangsanya, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world", maka jelaslah bahwa pendidikan adalah dasar fundamental kehidupan untuk melakukan perubahan menuju ke yang lebih baik dalam berbagai bidang. Jika pendidikan kita saja sedang hancur, lalu mau dibawa ke mana perkembangan bangsa tercinta ini.

"Pesta" Pendidikan

Dunia pendidikan Indonesia sudah hancur luluh lantak. Masih banyaknya sekolah-sekolah yang tertinggal secara fisik-fasilitas dan kurang layaknya proses pembelajaran merupakan kenyataan yang sulit diterima, mengingat dana negara yang cukup untuk pengembangan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. 

Ke manakah larinya dana pendidikan tersebut? Dana pendidikan terlalu dimanjakan untuk membiayai perubahan kurikulum dengan segala macam perangkat yang mengikutinya dan membiayai evaluasi belajar dengan tajuk ujian nasional yang pada akhirnya tidak jelas tujuannya. Bahkan dana sekitar Rp 80 triliun per tahun harus dihabiskan untuk membiayai yang namanya "Tunjangan Profesi Guru" atau sertifikasi. 

Sepakat dengan hasil penelitian Bank Dunia terhadap proyek sertifikasi ini, yang menyimpulkan bahwa program sertifikasi tidak memberi pengaruh signifikan terhadap kualitas guru, tapi berpengaruh pada kemakmuran materi. Lebih lanjut, peningkatan penghasilan tidak memicu kinerja, justru sebaliknya meningkatkan konsumerisme dalam gaya hidup. Ironis. Nurani telah pergi terbuai dengan kekuatan uang. Sangat logis,

Dunia pendidikan selalu memiliki "pesta" yang glamor untuk dirayakan setiap saat. Uang negara (baca: rakyat) menjadi ajang konsumerisme dan hedonisme yang akhirnya tidak menyentuh esensi pendidikan, yakni memanusiakan manusia menuju taraf insani. Rasanya begitu sulit untuk berbicara dan mengembangkan: pengalaman humanis dalam proses pendidikan, kontekstualisasi nilai-nilai kehidupan, refleksi mendalam, komunitas belajar sepanjang hayat, dan profesionalisme pendidik yang insani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun