Sebuah penekanan yang mengesankan tatkala membaca uraian tentang Heroic Leadership yang ditulis oleh Chris Lowney (2003) bahwa refleksi menjadi elemen penting dalam kepemimpinan, baik dalam kepemimpinan diri maupun kepemimpinan sebagai sebuah posisi (jabatan). Sebuah keyakinan tertanam  bahwa mengembangkan kebiasaan berefleksi adalah sebuah kekuatan untuk menghidupkan hidup itu sendiri.Â
Orang bisa saja tetap melaksanakan segala rutinitas hidupnya atau orang boleh saja tetap menduduki posisi sebagai pemimpin dengan segala kuasanya tetapi tanpa kebiasaan refleksi, kekeringan rohani perlahan-lahan akan merasuki jiwanya bahkan merusak keutuhan dirinya sebagai manusia yang beradab. Celakanya, keberadaban itu dapat menjadi sebuah kebiadaban pada diri dan komunitas/lembaga lambat laun. Ini sangat mengerikan.
      Akhir-akhir ini bangsa Indonesia tercinta sedang mengalami kegaduhan dalam berbagai bidang yang bisa mengancam keutuhan negara kesatuan ini. Aroma saling serang sangat kental dalam setiap wacana yang ada. Perbedaan menjadi masalah utama untuk saling menghargai, memaafkan, dan berkolaborasi. Celakanya, masyarakat selalu disuguhi akrobat pertikaian yang tak kunjung henti. Sesungguhnya, keadaan saat ini sangat memalukan dan menjijikkan karena generasi muda belia disuguhi contoh-contoh yang jauh dari kearifan dan keteladanan.
Refleksi sebagai Kebiasaan
      Para pemimpin, pemuka, pejabat, dan juga masyarakat pastinya memiliki kesibukan dan rutinitas tersendiri setiap harinya. Ide dan pikiran secara bertubi-tubi keluar, baik secara proaktif maupun responsif atas berbagai stimulus yang ada di sekitar mereka. Perasaan pun menyelimuti diri mereka seirama dengan gejolak batin dan dinamika komunitas/lingkungan kerja. Dan tak kalah menarik, berbagai aktivitas pun tertata secara beruntun dalam lingkup keluarga, pekerjaan, masyarakat, dan berbagai komunitas.Â
Di dalam kesibukan itu, kebiasaan refleksi sesungguhnya perlu dibangun untuk membangun kesadaran diri. Inilah pondasi dasar kepemimpinan, di mana mampu mengenal diri sendiri secara objektif, jujur, dan utuh. Kepemimpinan diri menjadi modal untuk memimpin orang lain.
      Profesor Havard Business School Joseph Badaracco secara fasih menyatakan bahwa refleksi sebagai sebuah kebiasaan adalah sebuah keutamaan dalam keseharian. Dijelaskan lebih lanjut, kebiasaan refleksi yang ditekuni para manajer telah membantu mereka membangun kesadaran diri dan komunitas yang perlahan-lahan menghapus konsep cerdik, teknis, dan pragmatis belaka dalam relasi kerja.Â
Hebatnya, para manajer mulai membuat transisi dari seorang manajer berubah menjadi seorang pemimpin. The manager does things well, but the leader does good things. Tidak sekedar melakukan segala sesuatu dengan baik, tetapi pemimpin lebih berfokus melakukan hal-hal  baik.
      "Hidup yang tidak diperiksa tidak pantas untuk dijalani", begitulah ungkapan filsuf Yunani kuno Socrates yang sesungguhnya dapat menjadi pondasi dan pilar penting dalam membangun hidup yang berkualitas dalam melayani sesama. Refleksi membantu siapapun dalam mengusahakan cita-rasa pribadi yang selalu mengupayakan sesuatu yang lebih baik. Refleksi juga secara langsung membantu orang menjadi La persona que se ejercita "pribadi yang melatih diri" setiap saat secara konsisten dan berkesinambungan.
Refleksi Nasional
      Tatkala keadaan bangsa begitu keruh dengan segala benturan-benturan yang ada, sudah waktunya untuk menciptakan refleksi nasional sebagai sebuah media untuk koreksi diri dan memaknai semua peristiwa yang telah terjadi. Tidak lagi semangat menang-kalah yang dikedepankan, tetapi semangat rendah hati dan tulus harus menjadi keutamaan sebagai bentuk kepemimpinan diri. Kepentingan bangsa lebih penting daripada kepentingan golongan semata.