Maraknya korupsi yang tak tahu malu, berbagai "radikalisasi" nurani dalam hidup berbangsa dan bernegara, pengabaian terhadap kesejahteraan hidup orang banyak, berbagai konspirasi brutal politik dan hukum, serta perilaku tidak dewasa dari para pejabat publik di Indonesia merupakan keadaan miris bangsa saat ini. Setiap hari masyarakat selalu disuguhi konflik kepentingan dari berbagai individu dan golongan untuk tujuan yang sangat egois dan jauh dari humanisme.
Adlai Stevenson (1962) di New York Times pernah menyatakan bahwa "lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". Secara makna simbolik, lilin dapat diartikan sebagai sebuah solusi atau juga harapan.
Melihat keadaan bangsa yang carut-marut seperti ini, pastinya kita bisa membuat rentetan keluhan dan kutukan yang tiada henti namun tidak berdampak apa-apa bagi bangsa ini. Salah satu "lilin" harapan untuk bangsa ini adalah pengembangan dunia pendidikan pada kerangka humanisasi seutuhnya.
Mentalitas Bangsa
Berbicara tentang pendidikan kadangkala kita juga jatuh pada "kutukan" terhadap kebijakan pemerintah. Rentetan kekacauan dalam dunia pendidikan terus-menerus terjadi tiada henti. Rentetan itu dapat dimulai dari kurikulum yang selalu berganti dan cenderung merepotkan banyak pihak, kuantitas dan kualitas guru yang sering dipertanyakan, tunjangan pendidikan yang tidak jelas implementasi dan evaluasinya, sistem ujian atau kelulusan yang berubah-ubah tak tentu arah, sekolah di daerah pinggir dan terpencil semakin tertinggal, kenakalan guru dan siswa, sampai pada arah dan pedagogi pendidikan nasional tidak jelas mau dibawa ke mana.
Ketika mengharapkan perubahan yang humanis dari pemerintah dan pihak-pihak yang terkait begitu sulit, maka ada baiknya menumbuhkan sikap proaktif dan inovatif dengan mengendalikan apa yang bisa dikendalikan. John Maxwell dalam Your Road Map for Success menegaskan bahwa segala sesuatu yang eksternal atau ada di luar diri kita adalah sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan dan tidak bijak ketika kita memintanya berubah karena akan menghabiskan waktu, tenaga, dan energi.
Maxwell menambahkan bahwa perubahan dapat terjadi dengan baik ketika kita memiliki komitmen pada diri sendiri karena cara berpikir, cara berasa, dan cara bertindak masing-masing pribadi dapat diubah lewat membangun habitus atau kebiasaan.
Harapan sesungguhnya ada dalam setiap pribadi, bukan dalam segala sesuatu yang bersifat eksternal. Semakin jelas bahwa mengharapkan komponen bangsa ini berubah untuk lebih humanis dan menuntut para pejabat mengedapankan kemakmuran publik daripada keutamaan pribadi bisa jadi adalah sebuah kesia-siaan belaka. Alasannya sangat sederhana, yakni kita tidak bisa mengendalikan mereka seperti dalilnya Maxwell. Merekalah yang bisa mengubah diri mereka sendiri, tapi sampai kapan?
 Pendidikan Humanis      Â
Paulo Freire sangat dikenal dengan pendidikan bagi kaum tertindas di Amerika Latin, yang mengedepankan kesadaran kritis pada realita kehidupan dan diri sendiri. Lewat pergulatannya bersama kaum tertindas, Freire menumbuh-kembangkan sebuah pedagogi pengharapan untuk hidup yang memanusiakan manusia. Freire berjuang di tengah-tengah realita Brazil yang kacau-balau, yakni: korupsi yang begitu marak, penghinaan pada kesejahteraan umum, dan kejahatan-kejahatan tanpa hukuman yang begitu meluas. Keadaan ini sepertinya mirip dengan keadaan bangsa kita saat ini.
Belajar dari Freire dalam membuat solusi untuk bangsa, pendidikan menjadi kunci utama dalam memperbaiki keadaan yang cenderung dehumanisasi. Lebih lanjut, Freire dan Maxwell sama-sama sepaham bahwa perubahan membutuhkan komitmen dan dilakukan pada hal-hal yang bisa dikendalikan. Freire berusaha mengembangkan pendidikan yang berangkat dari kesadaran kritis pada diri sendiri dan Maxwell menerapkan manajemen sukses lewat pengendalian diri dengan membangun habitus.