Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tatkala Muridku Menulis (seri 7): Mengurai Takdir dalam Makna Kehidupan

4 Desember 2015   07:54 Diperbarui: 4 Desember 2015   08:44 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Brigitta Domara mencoba berempati dengan tiang bendera lewat proses belajar tentang makna kehidupan. Empati biasanya hanya diarahkan pada sesama manusia, namun sesungguhnya empati layak diarahkan untuk siapapun dan apapun yang ada di dunia ini. Pembelajaran pada rasa empati pastinya akan menghantarkan anak-anak pada kebiasaan untuk peduli pada sekitar (compassion). Inilah pendidikan karakter sejatinya.

Kulitku yang dulu putih bersih, kini sangat kusam dan bahkan sangat kotor. Kurasa diantara teman-temanku, aku memiliki bentuk tubuh yang paling unik atau bisa dibilang aneh. Tubuhku yang menjulang tinggi ke atas membuat ku berbeda dari teman-temanku yang lain. Tinggiku bahkan bisa mencapai 2m. Apalagi, badanku juga sering sakit-sakitan karena pekerjaanku yang kotor dan sangat berat ini.

Setiap harinya, kumerasa bahwa penderitaanku ini tak kunjung berakhir. Badanku ini sering kali merasa tidak kuat dalam menghadapi kenyataan pahit dalam hidupku. Sering kali ku diminta untuk berjemur di bawah teriknya sinar matahari dan merasakan dinginnya udara malam hari. Setiap harinya, aku juga harus merasakan dinginnya tiang bendera. Jika ku menolak untuk melakukan semua itu, pasti ku akan di caci maki, atau bahkan di pukuli. Namun, hatiku sudah kebal dengan semua ini. Dinginnya tiang, gelapnya malam dan teriknya matahari sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku.

Ada suatu saat ketika kumerasa sangat iri dengan teman-temanku. Andai saja ku adalah berlian yang sangat berharga, pasti aku dirawat dan dijaga dengan baik dan juga di simpan di tempat aman agar aku tidak kepanasan, ataupun kedinginan. Aku juga pasti akan merasa senang, karena aku pasti tidak akan disakiti, apalagi dibuat menderita. Andai saja keinginanku terwujud, hidupku pasti akan sangat bahagia.

Namun, apa daya? Ku tak bisa mengubah kenyataan pahit dalam hidupku. Yang dapat kulakukan hanya menghidupi hidupku ini. Terkadang, aku juga merasa cukup bahagia dengan keadaanku sekarang ini. Dalam saat tertentu, ku merasa sangat dibutuhkan dan sangat berguna. Aku dapat membantu para siswa untuk mengibarkan bendera merah putih. Terkadang, aku juga merasa bahagia, karena tubuhku yang tinggi ini, aku tidak pernah diinjak-injak oleh orang lain. Aku belajar untuk mensyukuri hidupku ini.

Semua penderitaanku, seakan sirna seketika ketika kuingat makna dari semua penderitaanku ini. Yang dulunya aku selalu dijemur di bawah sinar matahari dan hujan ataupun merasakan dinginnya udara malam, kini membentukku menjadi pribadi yang tahan banting dan tegar dalam menghadapi cobaan. Juga membentukku menjadi lebih kuat dan selalu ingin berusaha. Semua itu adalah semua kebanggaan tersendiri bagiku.

Aku terdiam dan merenung. Apa guna dari semua kebahagiaan dan kebanggan ini kalau aku hanyalah seutas tali yang dicari saat dibutuhkan dan selebihnya ditinggalkan di dinginnya sebuah tiang besi. Namun apa daya? Inilah takdirku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun