Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tunjangan Profesi: Bencana Nasional Pendidikan

20 November 2015   09:52 Diperbarui: 20 November 2015   12:38 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Masa-masa bulan madu guru akan segera berakhir”. Ini adalah sebuah pernyataan pembuka dari sebuah tajuk rencana “Guru Tanpa Tunjangan Profesi” (Suara Merdeka, 11 September 2015) yang sangat menohok eksistensi guru (baca: pendidik). Pernyataan itu seolah-olah menyadarkan para guru akan eksistensi dan tanggung jawabnya sebagai profesi yang profesional, bukan sekedar profesi dengan kemakmuran materi tapi perlunya kemakmuran ilmu dan hati. Hal ini seiring dengan hasil penelitian Bank Dunia yang menyimpulkan bahwa program sertifikasi tidak memberi pengaruh signifikan terhadap kualitas guru, tapi berpengaruh pada kemakmuran materi. Lebih lanjut, peningkatan penghasilan tidak memicu kinerja, justru sebaliknya meningkatkan konsumerisme dalam gaya hidup. Ironis.

Sekitar 8 tahun proyek sertifikasi berjalan namun tidak ada penilaian progres dan monitoring profesionalisme yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan pada guru-guru yang lolos sertifikasi. Yang terjadi selama ini hanyalah penyesuaian jam mengajar dan bidang ajar beserta pemenuhan berbagai syarat pemberkasan. Celakanya, hal-hal administratif tersebut menjadi senjata ampuh untuk menciptakan “ketaatan” para guru untuk memenuhinya demi tunjangan (baca: uang) profesi. Kembali-kembali anak/peserta didik yang menjadi korban atas kesibukan para guru untuk ketaatan tersebut.

Ketika banyak guru ikut sertifikasi hanya demi mendapatkan tambahan uang profesi, maka sesungguhnya profesionalisme itu sudah tergadai. Profesionalisme disamakan dengan sejumlah uang dan lebih dari itu, profesionalisme dibelenggu menjadi sebuah tujuan. Padahal, pada hakekatnya profesionalisme adalah proses karena profesionalisme merupakan sebuah aktualisasi kemampuan seiring perkembangan zaman dan kebutuhan anak didik. Celakanya, sertifikasi telah menjadi biro penggadaian untuk sebuah kemakmuran materi dengan mengorbankan nurani.

Kekuatan uang sangatlah besar sehingga memporak-porandakan dunia dan menjungkirbalikkan logika berpikir. Bukti nyata sudah terlalu banyak tatkala hati nurani hanyut ditelan kekuatan supremasi uang dengan segala kenikmatannya. Banyak orang berubah pikiran seketika dan berperilaku tidak logis karena demi mendapat uang yang berlimpah. Bahkan, tidak sedikit pemimpin bangsa ini juga hancur karena keserakahannya pada uang. Dan, dunia pendidikan sudah terjerembab pada orientasi uang atas nama profesionalisme. Ini bukan lagi mimpi buruk pendidikan, tetapi sudah menjadi “bencana nasional pendidikan”.

Sebenarnya inilah yang disebut dengan stagnasi pendidikan. Pengambil kebijakan pendidikan sudah buntu untuk mengembangkan dunia pendidikan itu sendiri. Akibatnya, uang menjadi senjata andalan untuk menutupi itu semua. Memang dengan iming-iming uang untuk sebuah profesionalisme sangat efektif di mana hal itu tampak dari antusiasme guru untuk mengikuti uji sertifikasi. Dan, ini juga akan menjadi sangat efektif untuk merobohkan pendidikan itu di kemudian hari karena uang telah menggerogoti mentalitas kerja dan etika bernurani. Pemerintah harus bertanggung jawab atas bencana dan stagnasi pendidikan ini.

Kembalikan Nurani Pendidikan!
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, tunjangan profesi guru otomatis hilang. Dengan sistem gaji tunggal tidak ada lagi tunjangan profesi, sehingga gaji diterima dari tiga komponen: gaji pokok (75%), tunjangan kinerja (25%), dan tunjangan kemahalan. Hal ini menjadi pertanda dan niatan yang baik dari pemerintah untuk membangun sistem yang terbuka dan adil dengan penilaian terukur di mana guru yang bekerja baik akan mendapat tunjangan kinerja lebih.

Lebih dari itu, perbaikan sistem profesionalisme guru merupakan kesempatan yang baik untuk menebus kembali profesionalisme demi esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah lingkungan untuk berproses memanusiakan manusia itu sendiri menuju ke taraf insani. Dan, Jeffrey Glanz (2006) dalam bukunya Cultural Leadership mengatakan bahwa sekolah ada untuk anak didik sehingga sudah selayaknya pendidikan berfokus pada kebutuhan dan perkembangan anak didik. Profesionalisme bukan lagi berorientasi pada kemakmuran materi namun berorientasi pada pengembangan ilmu dan nurani guru pada generasi mendatang.

Sebuah potret pendidikan yang miris dan tragis, ketika pelaku pendidikan yang semestinya menjadi mitra belajar bagi anak didik mulai “dimabuk” dengan profesionalisme yang berfokus pada uang. Belum lagi adanya berbagai manipulasi dan kebohongan administratif demi memenuhi syarat untuk menjadi professional. Pendidik yang seharusnya menginspirasi, mengajarkan, dan menjadi teladan tentang kebesaran hati nurani, justru menjadi pelaku penyimpangan nurani. Kini saatnya mengembalikan spirit profesionalisme itu sendiri. Mengkaji ulang eksisitensi sertifikasi/tunjangan profesi menjadi langkah awal yang baik untuk menebus profesionalisme yang tergadai itu.

Pemerintah Jokowi menjadi harapan besar untuk mengembalikan profesionalisme guru pada rel yang benar. Profesionalisme bukan sekedar bagi-bagi uang Rp 80 triliun per tahun tanpa jelas progres dan monitoring-nya. Penghapusan tunjangan profesi adalah solusi yang baik sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan demikian, profesionalisme diarahkan pada kinerja guru yang baik, bukan sejumlah uang yang diterima setiap bulan. Kini saatnya pendidik dan anak didik belajar bersama mengembangkan pendidikan humanis dengan peningkatan kualitas yang mengarah pada: kedalaman ilmu, kedalaman nurani/rasa, dan kedalaman sikap/kepedulian pada sesama dan lingkungan. Robinson & Beswick (2000) dalam bukunya “Save Our Schools” juga mengingatkan bahwa pendidikan global selalu dinamis dan membutuhkan aktualisasi ilmu, hati, dan sikap. Tunjangan profesi sesungguhnya akan terkonversi dalam tunjangan kinerja yang sejalan dengan kinerja pendidik membaik.

Akhirnya, sebuah kesadaran besar mesti dibangun bahwa profesionalisme bukanlah sebuah tujuan dan batas akhir dari sebuah pengembangan pendidikan. Akan tetapi, profesionalisme adalah sebuah proses berkelanjutan dalam mengaktualisasikan keterampilan dan pelayanan untuk dunia pendidikan, khususnya demi pengembangan anak didik untuk membangun generasi yang cerdas, berhati nurani, dan berkepedulian pada sesama dan lingkungan hidup. Mampukah pemerintah dan dewan terhormat menempatkan profesionalisme pada rel yang benar? Menurut penulis, TIDAK MAMPU kecuali nurani mereka sudah kembali. Mari kita lihat!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun