Sidang pembaca kompasiana yang terkasih, tulisan ini hanyalah sebuah refleksi, tentang keberadaan manusia zaman ini; bukan untuk mempengaruhi atau sengaja menyebarkan SARA. Namun hanya sekedar berbagi refleksi, barangkali bisa menjadi pencerahan dan membawa manfaat bagi para pembaca.
Dalam tradisi gereja Katolik, ada satu ritual yang dikenal dengan jalan salib. Jalan salib (bahasa latin: Via Crucis, dikenal juga sebagai Via Dolorosa atau jalan penderitaan). Merujuk pada penggambaran masa-masa terakhir atau Penderitaan Yesus, dan devosi yang memperingati Penderitaan tersebut. Tradisi sebagai devosi yang diadakan di gereja, dimulai oleh Santo Fransiskus Assisi dan menyebar ke seluruh Gereja Katolik Roma pada abad pertengahan sampai sekarang.
Saat saya mengikuti jalan salib terakhir, sebelum memasuki pekan suci (dalam tradisi gereja Katolik), atau dalam bahas latin disebut Hebdomada Sancta di gereja Katolik St Lukas Sunter Jakarta utara. Ada kotbah yang menarik dari pastor sekaligus menggelitik. Mengundang tanya, sehingga memaksa diri untuk merefleksikannya. “Menjadi orang yang benar (secara moral) mengundang banyak musuh”, kata pastor. (maaf saya lupa nama pastornya). Saya mengamini kebenaran kata-kata tersebut. Yesus saja yang merupakan Juruselamat dan Tuhan (menurut iman kepercayaan saya). Disalibkan, hingga wafat di kayu salib; padahal ia tidak melakukan suatu kesalahan atau tindakan kejahatan apapun. Malahan sebaliknya menyembuhkan yang sakit, orang buta melihat, yang lumpuh berjalan, memberi makan dan mengajarkan hal baik. Seperti ‘berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik kaisar, dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan’.
Hal yang mungkin sama dalam kehidupan kita setiap hari pada zaman ini. Di tempat kerja, komunitas, pemerintahan, hingga panggung politik. Orang yang ingin berbuat baik, ingin melakukan perubahan, orang jujur dan orang bersih, selalu diperhadapkan dengan berbagai tantangan. Sebab orang memandang, kehadiran orang bersih, jujur, baik, dan mau memperjuangan kebenaran sebagai suatu ancaman; bagi sebagian orang yang sudah merasa nyaman dengan keberadaannya saat ini. Persetan atau masa bodoh dengan penderitaan orang lain.
Jadi apakah kita harus menjadi orang yang masa bodoh, atau bahasa kerennya ‘bodoh amat’ sehingga kita tidak dibenci. Ataukah menjadi orang yang menyenangkan hati pimpinan meskipun itu salah, asal saya ‘aman’ persetan dengan penderitaan orang lain. Ataukah memilih jalan penderitaan seperti Yesus, yakni memperjuangkan kebenaran dan keadilan, tetapi resikonya adalah dibenci oleh orang lain; bahkan pada taraf tertentu nyawa melayang hanya untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Atau mungkin pilihan paling radikal adalah menjadi orang jahat sekalian. Sebab percuma menjadi orang baikpun tetap dibenci orang.
Kita adalah manusia bebas, memiliki pilihan yang bebas (Libertarianisme). Jadi orang baik, orang jahat atau jadi orang yang masa bodoh. Namun, dengarkanlah suara hatimu yang paling dalam karena ‘suara hati adalah Sifat yang lebih mengutamakan kepentingan umum. Bukan golongan, kelompok atau diri sendiri’ http://www.kompasiana.com/hento2008/apa-yang-dimaksud-suara-hati. (Martin Ruma)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H