“Ye ile pak ribet amat si pakai heningkan cipta segala, orang meninggalnya saja uda lama. Lantas apa persoalannya kalau meninggalnya sudah lama, tanya sang guru. Ih.. si bapak, ya pasti sudah masuk surgalah orang didoakan oleh seluruh rakyat Indonesia setiap upacara bendera” tetapi pernahkah kamu berpikir jika tanpa pahlawan yang gugur kebebasan pun tidak pernah ada?, ujar sang guru”.
Kutipan di atas merupakan penggalan pembicaraan antara guru dan murid usai upacara bendera; dari dialog tersebut terdapat dua hal penting. Pertama kelogisan berpikir dan kedua romantisme masa lalu. Sisi yang satu mengharapkan kepatuhan, cinta tanah air dan sederet sikap patriotik lainnya sedangkan sisi yang lainnya mengharapakan jawaban yang logis dan contoh kongkrit. Dua hal tersebut seperti dua sisi mata uang, tidak pernah saling bertemu namun sejatinya mereka adalah satu kepingan uang. Demikianlah gambaran remaja masa kini dan harapan dari orang tua di rumah dan guru di sekolah.
Harapan dan kenyataan selalu tidak sejalan di abad ke 21 ini; misalnya di depan kelas guru sejarah mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawanya. Kongkritnya sang guru berharap para murid bisa mengikuti upacara bendera dengan baik terutama saat mengheningkan cipta. Namun, faktanya upacara bendera dilalui hanya sebagai rutinitas biasa. Semangat persatuan dan kesatuan dari para pahlawan terdahulu diharapkan menjadi semangat pelajar masa kini. kenyataanya tawuran antara pelajar sering terjadi. Lansiran dari tempo online, Kamis (4/9/14) Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat ada 229 kasus tawuran pelajar sepanjang Januari-Oktober tahun 2013. Jumlah ini meningkat sekitar 44 persen dibanding tahun lalu yang hanya 128 kasus. Dalam 229 kasus kekerasan antarpelajar SMP dan SMA itu, 19 siswa meninggal dunia. Demikian juga dengan guru bahasa Indonesia, ikrar para pemuda untuk berbahasa satu bahasa Indonesia. Semangat yang sama pun diharapakan oleh sang guru agar siswanya bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun lagi-lagi fakta menunjukan lain. Dalam kehidupan sehari-hari, anak muda lebih senang dan merasa gaul jika mereka meng-update status di jejaring sosial dengan bahasa Inggris. Menyatakan cinta dengan kata “i love u” mengatakan rindu dengan “i miss u” merasa tidak gaul dan malu jika mengatakannya dengan bahasa Indonesia, alasannya pasti tidak keren dan tidak romantis. Apakah begitu buruknya bahasa Indonesia sampai penuturnya sendiri enggan mengakui keberadaanya?. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin bahasa Indonesia hanyalah tinggal sejarah seperti bahasa sansekerta yang telah lama dilupakan orang. Sedangkan sumpa pemuda hanyalah sumpah tentang sejarah bangsa Indonesia di masa lalu apalagi mengingat isi pancasila sebagai idiologi bangsa.
Sedikit fakta coba penulis jabarkan tentang pancasila sebagai idiologi bangsa.Hasil survei tentang pancasila sebagai idiologi bangsa yang dilakukan oleh aktivis Gerakan Nasionalis Indonesia (GNI) di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya pada tahun 2010. Sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup. “Hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara”. Fenomena ini jika dibiarkan terus terjadi maka generasi sesudah kita kemungkinan besar tidak tahu sejarah dan budaya bangsanya sendiri. Tentu persoalan sejarah bangsa dan budaya tidak bisa dijadikan ukuran nasionalisme seseorang karena nasionalisme lebih dari sekedar budaya dan persoalan sejarah; apalagi kegiatan ceremonial macam upacara bendera, tetapi sejarah bangsa adalah dokumentasi bangsa dan budaya menjadi identitas dari dari sebuah bangsa (meminjam istilah Remi Salado dalam antalogi puisi pelacur-pelacur Jakarta).
Sederet fakta tentang nasonalisme kaum muda, nampak miris. Antara harapan dan keyataan selalu tidak sejalan adalah tanggung jawab bersama untuk meyatukan romantisme masa lalu dan idealisme generasi abad 21 dalam satu bingkai yang bernama Indonesia raya. Impian orang tua adalah melihat kesuksesan seorang anak sehingga dapat berguna bagi keluarga dan negara. Telah menjadi harapan seorang guru melihat murid yang cerdas dan berahklak mulia, memiliki rasa tanggung jawab dan berjiwa pancasila. Ibarat sebuah bingkai yang di pasang foto yang bagus; tentu memancarkan panorama indah yang menyejukan mata. Demikian juga dengan ekspektasi kita untuk melihat Indonesia menjadi macan Asia dan disegani oleh bangsa lain. Ekspektasi kita berada di tangan generasi muda dan hanya pada pundak generasi muda harapan itu menjadi bertaji. Tugas kita bersama untuk membingkai ulang Indonesia agar enak dipandang. Hal ini bukan dimulai dari generasi mudanya saja tetapi yang pertama dan terutama adalah dari diri sendiri.
Satu hal yang menyatukan orang tua dan guru adalah harapan. Hal yang sama pun diimpikan dari seorang murid kepada guru dan orang tua. Murid mengharapkan contoh kongkrit bukan kata-kata seperti nasionalisme, tanggung jawab, jiwa pancasila dan disiplin. Kata hanyalah sebuah kata tanpa makna. Deretan kata tersebut akan bermakna jika dinyatakan dalam perbuatan sehari-hari. Sudahkah para guru di sekolah dan orang tua di rumah memberi contoh kongkrit dari apa yang diajarkan kepada anak di rumah para murid di sekolah?. Di zaman digital seperti ini kebenaran sejati bagi seorang anak (walau tidak semua) adanya pada google namun menjadi penyimbang yang sebanding jika guru dan orang tua bisa memberi contoh kongkrit. Lantas caranya bagaimana?. Jawaban sangat sederhana mulailah dari diri sendiri dengan menerapkan 3T (tahu diri, tahu waktu dan tahu tempat).
Tahu diri, sebagai guru; tindakan saya, kata–kata saya, cara berbusana saya sudahkah mencerminkan seorang pendidik yang dapat memberikan contoh yang baik bagi murid di sekolah dan di manapun saya berada?. Sebagai pelajar, kata-kata dan tindakan saya, sudahkan mencerminkan seorang pelajar, ataukah tindakan saya tidak jauh bedanya dengan preman di terminal?. Tahu tempat, sebagai guru sudahkah saya menempatkan diri saya sebagai seorang tuan guru yang segala tindakan saya baik di sekolah, di lingkungan masyarakat atau pun di media sosial yang akan ditiru oleh siswa. Sebagai siswa, sudahkah saya berbusana sesuai dengan tempatnya?. Atau jangan-jangan di sekolah saya menggunakan sendal jepit padahal tempatnya di sekolah dan sekolah mempunyai aturan. Tahu waktu, sebagai guru; di depan kelas kita selalu mengatakan korupsi itu jelek. Memang benar kenyataannya korupsi itu jelek dan sangat merugikan. Namun, terkadang seorang guru pun di depan kelas melakukan korupsi. Bel istirahat sudah berbunyi guru masih saja mengajar. Murid “berkicau” sang guru menjawab “tanggung ne, tinggal sedikit lagi”. Hal yang sama pun terjadi pada saat pergantian jam pelajaran. Saling menunggu antara guru yang sedang mengajar dan guru yang akan menggantikan. Ini adalah perbuatan yang merugikan bagi siswa dan sejawat. Inilah model kecil dari penyakit bangsa yang bernama korupsi. Teriangat kata seorang kawan dalam suatu renungan pagi. “Jika hal-hal kecil seperti korupsi waktu yang dilakukan seorang guru atau ketidak disiplinan siswa dibiarkan saja maka akan menciptakan persoalan besar di masa mendatang”. Jika guru saja tidak tahu waktu istirahat mana dan waktu belajar mana, maka jangan pernah menuntut siswa untuk diam saat jam pelajaran karena tindakan siswa adalah cerminan dari guru dan orang tua di rumah.
Rumah semuanya bermula dan semuanya berujung sekiranya itulah falsafah klasik tentang rumah; dari rumah orang tua dan anak mulai mengawali hari baru, menjalani, kemudian mengahirinya dalam kebersamaan dalam sebuah bingkai keluarga. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang baik, niscaya dalam hatinya akan tumbuh perasaan “nasionalisme” terhadap keluarga tersebut. Ia akan memikirkan kepentingan keluarga di atas kepentingan pribadinya. Perasaan “nasionalisme” terhadap keluarga tersebut akan berkembang menjadi perasaan “nasionalisme” terhadap RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, dan seterurusnya sampai “nasionalisme” terhadap bangsa dan negara. Sebaliknya, dalam keluarga yang kacau, ikatan kekeluargaan akan sangat longgar. Setiap anggota keluarga hanya mementingkan pribadi masing-masing. Dari keluarga seperti ini, mustahil akan tumbuh perasaan nasionalisme terhadap negara. Karena itu tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa nasionalisme seseorang tumbuh dari keluarga masing-masing. Keluarga yang baik akan menelorkan seorang yang barakhlak baik, yang tidak akan mau merugikan orang lain. Dalam skala yang lebih besar, dia juga tidak akan mau merugikan lingkungan sekitarnya. Orang yang tumbuh dari keluarga yang kacau, mustahil bisa tumbuh jadi orang yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya. Oleh karena itu, sebelum berbicara tentang nasionalisme, lebih baik benahi dahulu keluarga masing-masing agar anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang baik.Cukup dengan tindakan sederhana sehari-hari.
Di rumah, hematlah pemakaian air, listrik, dan telepon yang tidak perlu. Jika setiap rumah tangga bisa menghemat biaya tersebut Rp. 10.000 sebulan, dan jika ada 10 juta rumah tangga yang melakukannya, maka secara nasional dapat dihemat Rp.1,2 triliun setahun. Uang yang dihemat tersebut akan memperkuat sisi penawaran dan akan mendorong tumbuhnya investasi domestik melalui pasar uang dan modal. Tumbuhnya investasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang akan meningkatkan kemakmuran masyarakat. Jika penghematan biaya tersebut diperluas, misalnya untuk BBM, sandang, pangan dan perumahan, khususnya untuk barang-barang yang kandungan importnya tinggi, jelas efeknya akan sangat besar untuk memacu pertumbuhan ekonomi misalnya. Mari dimulai nasionalisme dari sekarang dan dimulai dari rumah sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H