Nilai perjuangan yang terkadang dilupakan oleh si penerus. Pewaris tidak pernah berpikir kalau sewaktu – waktu warisanya akan diterjang badai globalisasi zaman, atau istilah yang sering dipakai “zaman now”. Tidak bermaksud mengkapitalisasi diri sang pewaris, wujud nyata akan jiwa heroik perlu diimplementasikan sang penerus. Nilai toleransi, gotong – royong, keadilan, dan kerakyatan perlu dipertahankan. Nilai ini mutlak bagi setiap manusia, meski berbeda zaman. “Zaman berubah dan kitapun turut berubah di dalamnya”. Tetapi bukan untuk nilai kemanusiaan.
Nilai kebebasan berekspresi dikibarkan seturut perintah Undang – Undang, bebas menyampaikan pendapat di depan umum. Kebebasan bukan berarti leluasa memainkan ide yang kerap kali bablas, menyebar hoax, menjual isu provokatif, ujaran – ujaran kebencian, praktik prostitusi online dan masih banyak deretan degradasi moral menghiasi beranda layar kaca. Sang penguasa dengan leluasa memainkan peran, korupsi pada setiap instansi yang membudaya di Rahim Ibu Pertiwi. Hotel layak huni – hotel pordeo menjadi hunian kekal bagi sang koruptor yang selalu tersenyum di kursi pesakitan, menanti upah ketukan Palu.
Kebebasan yang bablas sedang dimainkan pemuda sebagai aktor utama.Yang katanya seturut kehendak “zaman now”. Eksplorasi diri jadi tayangan - tayangan utama dengan durasi 30 detik. Ruang – ruang publik menjadi konsumsi khalayak ramai, bablas dalam membedakan ruang privat dan ruang publik. Terpuaskan akan euforia dengan predikat netizen. Migrasi status dari warga penduduk ( WP ) ke warganet ( WN ) hanya bermodalkan android dengan kemudi jempolan jari. Persentase aktivitas pasca migrasi 90% WN : 10% WP, ibarat gelombang pantai utara versus selatan.
Implementasi nilai – nilai Pancasila menunjukkan pada titik kelemahan. Terbawa gelombang ” Jaman Now”. Membunuh karakter bangsa jika tak sanggup melawan gelombang. Pasang surut nilai kemanusiaan menjadi hiasan etalase. Mengejar jumlah like dan komentar pada kolom beranda, popularitas jadi tema utama dengan berbagai mode fashion show. Lupa akan segala nilai kemanusiaan yang beradab. Kebiadaban ditunjukkan dengan praktik perdagangan orang, menjual manusia untuk dijadikan tumbal sang majikan. Peti mati siap mendarat bebas di bandara, lalu mulai disebarkan via media online. Lagi – lagi jadi topik utama netizen kalangan muda, hanya mampu share tanpa membaca isi, apa penyebabnya. Generasi klik kian membabi buta menggerakkan jari jempolnya dengan kepala sedikit tunduk biar terlihat serius, dahi sedikit berkerut. Gelarpun diraih dengan sebutan ” generasi tunduk”. Mengejar gelar ala netizen, lantaran siapakah yang memberikan gelar tersebut!!!
Upaya memperebutkan gelar bangsawan, kini sedang dipertontonkan oleh elit demokrasi pasca penetapan KPU yang memenangkan pasangan nomor urut satu, Jokowi – Ma’aruf Amin menuai protes oleh orang – orang yang katanya ” keberatan”. Alhasil massa turun kejalan membawa bendera kebebasan berpendapat di depan umum dengan gagah perkasa, bertelanjang dada siap menembus pagar – pagar kawat berduri. Dengan lantang massa aksi menyerbu titik target, namun lagi – lagi dihadang gas air mata yang menghasilkan lemparan batu. Di sudut – sudut terlihat si jago merah dengan lahap menari – nari bersama roda empat.
Hiruk – pikuk aksi dan reaksi berujung pada kehilangan nyawa. Mungkin terbunuh, membunuh, bunuh diri! oleh sebab – musabab perebutan kekuasaan. Masing – masing kubu berkompetisi melalui pemilihan secara langsung oleh pemilih. KPU hadir sebagai wasit siap memutuskan siapa sang pemenang. Gong “PILKADA DAMAI” hanyalah simfoni belaka. Lantaran KPU hanya menjalankan tugas sebagai panitia pemilihan, tak pedulikan soal “lain”. Demikianlah konsekuensi logis alam demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat jadi tumbal demokrasi.
Mungkinkah rakyat bertanggungjawab atas dirinya sendiri? bukanya Vox Populi Vox Dei? atau hanya menjadi mantera bagi para politisi tatkala hadir ketika musim hujan, kemarau bahkan musim politik. Pesta monster – monster politik yang tak beradab. Bertopeng senyum dan janji – janji manis politik saat kampanye dengan gelora ; kesejahtera rakyat, masa depan bangsa yang lebih baik, NKRI harga mati, perbaikan ekonomi kerakyatan, dan ” MENGAJAK PEMILU DAMAI “. Tapi kini seolah – olah rakyat diadudomba. Mungkinkah Rakyat versus KPU? Rakyat versus Aparat? Ataukah Rakyat versus Rakyat.
Rakyat dibohongi, sebelum dan sesudah pesta rakyat, pesta demokrasi. Orang mulai jalan dari satu rumah ke rumah yang lain menawarkan barang dagangan. Pokok pikiran mulai ditawarkan. Pokok Pikiran ( POKIR ) adalah istilah dalam dunia perdagangan, penjual dan pembeli bertemu disana. Pasar kaget 5 tahun ini penuh akan permintaan dan penawaran sampai lupa "Pikiran Pokok". Pokir DPRD adalah kado indah untuk wakil rakyat. Mereka tak mampu berbuat apa – apa, “Pikiran Pokok” mereka hanya untung dan rugi. Mereka pun mendapat gelar unik “Pedagang Suara”, sedikit berbeda dengan perdagangan orang. Berbagai macam tunjangan didapatkan dengan perlindungan “aturan” dan lain sebagainya. Persaingan sesama pedagang suara ini, tak mengenal latar belakang apapun. Keluarga sekalipun saling memangsa, saling menjual, yang kata – NYA bagian dari seni ber – demo – krasi. Hukum dagang telah diterapkan, dari, oleh dan untuk. Cinta segitiga menghasilkan laba demonstrasi.
Oleh karenanya setiap kita wajib tunduk pada regulasi hasil bincang – bincang para elit. Tekan sana – sini membangun dinasti kepentingan. Dengan malu – malu mengucapkan sumpah pada rakyat bertopeng cinta pembangunan yang kini semakin dirasakan absennya niat suci. Kantong – kantong celana penuh dengan janji palsu yang akhirnya meluap pada selokan jalan. Praktik balas jasa siap dikumandangkan untuk melunasi hutang suara pada celengan kotak uang bandar. Judi kaum elit bermodalkan Undang – Undang jadi taruhan. Barter regulasi akan investasi yang berkedok pada pembangunan infrastruktur, kemajuan ekonomi, menjadi nilai jual dibalik meja kehormatan. Dengan ketukan palu kata sepakat.
Kembalikan roh demokrasi berasaskan Pancasila, yang bukan hanya slogan atau bincang – bincang dibalik meja redaksi tapi dengan perbuatan. Ataukah dijadikan sebagai lahan rupiah, pemenuhan suatu program dengan kata deklarasi. Upaya deklarasi tak lain adalah upaya nongkrong, kopi bareng yang hanya memuaskan dahaga para Warga Netizen yang kebal kritik. Perlu dicatat bahwa, Penguasa alam demokrasi adalah orang – orang yang setia memperdagangkan kepentingan. Rakyat dibuai dengan slogan cinta damai. Seyogianya adalah omong kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H