Inspirasi dari Injil Lukas 6:12-19.
Kita tentu akrab dengan kata kontemplasi. Kata ini biasanya berhubungan dengan urusan doa atau pendalaman secara spiritual. Kata kontemplasi ini berasal dari bahasa Latin, yaitu "contemplatio", yang berarti "pengamatan" atau "merenung dengan dalam." Kata ini terbentuk dari akar kata Latin "con-" (yang berarti "bersama" atau "dengan") dan "templum" (yang berarti "tempat suci" atau "tempat untuk merenung"). Secara harfiah, "contemplatio" berarti "melihat atau merenung dalam suatu ruang khusus atau sakral."
Dalam tradisi spiritual, kontemplasi merujuk pada bentuk doa atau meditasi yang mendalam, di mana seseorang dengan khusyuk membuka hati dan pikirannya untuk hadir sepenuhnya di hadapan Tuhan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan hubungan yang lebih erat dan dalam dengan Tuhan, di luar kata-kata atau pemikiran, melalui keheningan dan keintiman.
Dalam membuat keputusan penting sebelum memilih dua belas murid-Nya, Yesus pun mengawalinya dengan berkontemplasi di atas gunung. Pilihan dua belas murid ini bukanlah sekadar tindakan spontan atau keputusan cepat; melainkan sebuah keputusan penting yang lahir dari sebuah refleksi yang mendalam. Yesus kemudian mendapatkan murid-murid-Nya dan dari antara mereka Ia memilih dua belas orang yang kelak disebut rasul. Pada hari yang sama, Ia turun dari gunung dan melanjutkan karya-Nya dengan mengajar serta menyembuhkan banyak orang yang datang kepada-Nya dari berbagai wilayah.
Yesus mengajarkan bahwa keputusan besar dalam hidup perlu ditempatkan dalam konteks doa dan refleksi mendalam. Ia memberikan teladan bahwa sebelum menentukan langkah besar, manusia sebaiknya menyerahkan diri sepenuhnya dalam doa untuk mendapatkan bimbingan dari Allah. Dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin ada banyak keputusan penting yang perlu diambil --- baik itu dalam keluarga, pekerjaan, pelayanan, maupun hubungan pribadi. Seringkali kita tergesa-gesa dalam menentukan pilihan tanpa mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, terlebih lagi dalam doa. Melalui contoh Yesus, kita diundang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, memohon hikmat-Nya, dan menanti tuntunan Roh Kudus sebelum membuat keputusan penting.
Yesus memilih dua belas orang yang kelak menjadi rasul dan akan meneruskan misi-Nya di dunia. Namun, jika kita melihat latar belakang mereka, mereka bukanlah orang-orang yang memiliki status sosial tinggi, pendidikan khusus, atau kekayaan yang melimpah. Mereka adalah nelayan, pemungut cukai, dan orang-orang biasa yang tidak memiliki kelebihan mencolok. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin merasa diri kita tidak cukup baik atau memiliki kemampuan terbatas dalam melayani Tuhan dan sesama. Namun, Injil ini mengajarkan bahwa Allah tidak memanggil yang sempurna; sebaliknya, Ia menyempurnakan yang dipanggil-Nya. Apa yang perlu kita bawa hanyalah hati yang siap melayani dengan rendah hati, dan Ia akan memampukan kita sesuai kehendak-Nya.
Setelah Yesus memilih dua belas rasul, Ia turun dari gunung dan melanjutkan karya pelayanan-Nya dengan menyembuhkan dan mengajar. Hal ini mengingatkan kita bahwa panggilan setiap orang percaya bukan hanya untuk "menyendiri" dalam iman, tetapi untuk masuk ke dalam komunitas, berbagi kasih, dan mengupayakan kesejahteraan bersama. Panggilan untuk menjadi rasul yang setia berarti juga panggilan untuk hadir dalam kehidupan orang lain dan mengupayakan kebahagiaan dan penyembuhan bagi mereka yang membutuhkan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga dipanggil untuk membangun komunitas yang berlandaskan kasih dan pelayanan --- baik itu dalam keluarga, lingkungan kerja, maupun dalam gereja. Kita dipanggil untuk hadir bagi mereka yang menderita, berbagi beban dengan yang lemah, dan menjadi saksi kasih Allah dalam tindakan nyata.
Yesus tidak hanya berbicara tentang kasih dan pelayanan, tetapi Ia menunjukkan kasih itu melalui tindakan-Nya. Kita dipanggil untuk mengikuti keteladanan ini, untuk tidak hanya berteori tentang kasih, tetapi juga menerapkannya dalam perbuatan sehari-hari. Ketika kita terlibat dalam pelayanan, baik itu dalam pekerjaan, komunitas, maupun dalam keluarga, kita meneladani kasih Yesus yang penuh perhatian dan tanpa syarat.
Bacaan Injil ini mengingatkan kita untuk selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap keputusan penting, untuk tidak merasa terbatas oleh kelemahan kita, dan untuk terus berupaya membangun komunitas yang berlandaskan kasih dan pelayanan. Semoga setiap langkah kita, sekecil apa pun, menjadi cerminan kasih Kristus yang telah terlebih dahulu hadir dan bekerja dalam hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H