Masih dalam semangat Paskah, seorang ibu bersama anaknya mengunjungi pameran lukisan Kristiani di salah satu balai lelang ternama di Inggris. "Ma, lukisan itu bagus banget! ...kalau mama punya uang beliin buat kado papa paskah nanti, ya?" kata si anak dengan mata berharap.Â
Dia tidak mengerti berapa harga lukisan ini. Sang bunda hanya diam memandang obyek lukisan di depannya dengan mata berkaca-kaca. Itulah the Dead of Christ karya pelukis sohor Holbein. Lukisan itu merupakan salah satu lukisan termahal saat ini, yang disandingkan di dekat the downtrodden clemency dari Kathe Kollwitz, Christ of clemency-nya Martinez Montanez, juga Stephen Cox dalam Crucifixion yang dirakit di tahun 1993.Â
Ekspresi penuh haru dari ibu ini menebarkan pertanyaan realistis: apakah elemen seni ini mampu menjadi jembatan penghubung antara iman manusia dengan Yang Transenden?. Apakah yang ilahi bisa dijumpai melalui seni?
Tak dapat dipungkiri bahwa ekpresi yang ditampilkan dalam lukisan-lukisan itu berangkat dari satu realitas yang oleh orang Kristen disebut Salib.
Salib adalah refleksi kontroversial atas kehidupan. Didalamnya ada perjumpaan antara kebodohan dan kecerdasan, rendah hati dan pengorbanan, juga kematian dan kemuliaan. Banyak teolog Kristen menilai salib adalah titik arkhaik dari hidup dan mati. Sadar atau tidak apapun tentang salib melahirkan buah bibir iman, yang menyetuh aspek terdalam sekian juta jiwa untuk menggumulinya.Â
Yohanes Paulus II menuliskan kepada para seniman, bahwa dengan cinta yang besar dari Seniman Agung, merecik dalam sukma seniman, memanggil mereka untuk membagikan mereka daya kreatifnya.
Hal ini menjadi tanda bahwa kristianitas tidak bisa lepas dari ruang iman dan budi manusia. Artinya bersentuh dengan Allah. Seniman dianugerahi kesanggupan utnuk melihat keindahan ciptaan dan hati manusia, dan mengekspresikan pewahyuan itu dalam sketsa. Ekspresi itu menampilkan spasi kecil -yang menyatakan keindahan hidup dalam Allah- yang kadangkala kita tolak.
Kita sadari bahwa pesona seni tak lepas dari sejarah kekristenan. Pieta, The Light of the world, the Adoration of the Kings, Catacombe, Kafan, The Crucified Christ, atau the Last Supper yang kontroversial; sungguh mendapat tempat di hati umat, bahkan diyakini menjadi bagian dari iman kristiani. Hal ini tentu merupakan bagian kecil dari cinta manusia yang memberi jeda bagi pesona ilahi yang melabrak dirinya.Â
Semua ini dipercaya berawal dari Allah yang merapresentasikan diri-Nya dalam diri Nabi Isa dalam ruang dan waktu manusia. Karena Sang Nabi menderita, disalibkan dan wafat, maka apapun yang berkaitan dengan atmosfir salib menjadi raga kekristenan, identitas bahkan self --bahkan yang diekspresikan para seniman melalui media apapun, termasuk lewat media digital yang ditampilkan oleh seniman kontemporer dengan media digital, Bill Viola.
Dalam sebuah wawancara dengan Viola, ia mengatakan bahwa seni yang digelutinya adalah seni mengenai kehidupan yang bermuara pada pergerakan, pencarian daya hidup dan pengendapan melalui refleksi.
Dengan ini, saya tertegun mengingat Tempo yang menampilkan Last Supper edisi Soeharto beberapa tahun yang lalu. Satu sisi menyentuh realitas di negeri ini, di lain sisi menyentuh 'self' kekristenan. Lepas dari pada semua itu, seni kekristenan memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam tatanan sosial.Â