Mohon tunggu...
Martino
Martino Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Freelance Writer

Gemar Menulis, Penimba Ilmu, Pelaku Proses, Penikmat Hasil

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemenuhan Ruang Publik bagi Kualitas Hidup Masyarakat Perkotaan

29 September 2015   14:34 Diperbarui: 29 September 2015   15:17 1819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Taman Suropati, salah satu ruang publik di Jakarta (sumber foto: beritaseharian.com)"][/caption]

Pembangunan kota sebagai habitat hidup manusia selalu diarahkan sebagai tempat melangsungkan hidup serta meningkatkan kualitasnya. Seiring dengan perkembangan kota dan penduduk, kebutuhan pembangunan keruangan terus tumbuh. Kecenderungan ruang-ruang kota masa kini terdominasi oleh pembangunan ruang pemukiman, ruang ekonomi dan bisnis serta ruang transportasi. Ruang kota kian terbatas oleh pembangunan bagi kebutuhan material manusia dengan strata sosial sebagai sekatnya. Pembangunan kota hampir saja melupakan kebutuhan ruang bagi sisi humanis manusia yakni kenikmatan interaksi antarmanusia bersama lingkungan dan alam dalam sebuah ruang publik.

Wajah Kota, Cermin Kita

Perkembangan kota dan jumlah penduduk merupakan dua hal yang saling mempengaruhi arah kebijakan penataan ruang. Semakin tinggi jumlah penduduk maka berimplikasi pada peningkatan kebutuhan akan ruang pemukiman, perkantoran, industri, sarana layanan publik hingga transportasi. Kebutuhan tersebut dipenuhi melalui proses pembangunan berkelanjutan yang menghadirkan kemajuan dan modernisasi bagi wilayah kota. Tidak berhenti sampai disitu, kemajuan kota kemudian menjadi daya tarik bagi arus urbanisasi yang akan semakin memperbesar tuntutan pembangunan ruang kota. Besarnya tuntutan kebutuhan membuat praktik pembangunan hanya terfokus pada pembangunan material dan cenderung mengabaikan ancaman penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Hal ini tercermin dari realitas pembangunan kota di Indonesia. Praktik pembangunan kota semakin kental dengan pengabaian dampak lingkungan, minimnya pembangunan ruang publik, praktik alih fungsi taman dan hutan kota, alih fungsi daerah serapan air, tata ruang kota yang buruk, hingga minimnya mekanisme penanganan limbah dan sampah.

Kota selayaknya merupakan habitat hidup yang menjadi tempat bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Namun realitas pembangunan perkotaan belum mengakomodir ruang bagi pemenuhan kebutuhan nonmaterial yang berhubungan dengan kesehatan mental, psikologis, sosial budaya dan ekologis manusia. Kehidupan perkotaan berada diantara kepungan kepadatan pembangunan lengkap dengan hiruk pikuk aktifitas manusia. Hal ini masih diperparah dengan tingginya tingkat polusi, kemacetan, sampah, ancaman banjir yang terus terjadi. Tidak heran dengan tingkat modernitas yang semakin tinggi, penduduk kota justru semakin merindukan ruang-ruang publik yang mampu menjadi wadah aktivitas sosial dan rekreasi.

Kejenuhan dan tekanan mental dari tuntutan aktivitas kota membutuhkan sarana pelepasan untuk kembali berbaur dengan lingkungan alami serta berinteraksi dengan sesama. Hal tersebut termanifestasi kedalam kebutuhan ruang publik berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH) maupun Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) seperti taman kota, hutan kota, alun-alun, public square, pedestrian yang masih minim di perkotaan. Pembangunan ruang publik memiliki fungsi strategis guna mengembalikan sekaligus menjaga keseimbangan kehidupan perkotaan dalam aspek hubungan sosial maupun ekologis masyarakat kota. Kehadirannya bukan semata bagian penunjang tata ruang kota tetapi telah menjadi kebutuhan bagi kualitas habitat perkotaan

Merebut Hak atas Ruang Publik

Bukan perkara mudah menghadirkan ruang publik di tengah ruang perkotaan yang kian terbatas oleh berbagai kepentingan ekonomi dan bisnis. Berbagai kasus diperkotaan menunjukkan tantangan lahan-lahan potensial bagi ruang publik harus bersaing dengan pembangunan fisik yang dinilai lebih menguntungkan dari sisi ekonomi bagi daerah. Meskipun penyediaan ruang publik telah didorong melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, faktanya proporsi pembangunan kota sebesar 30 persen bagi ruang publik sulit terwujud. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan lahan yang layak bagi pembangunan ruang publik, tetapi juga disebabkan praktik alih fungsi ruang publik. Oleh sebab itu, penyediaan ruang publik harus memperhatikan tiga fase penting dalam pembangunannya yakni penyediaan lahan yang layak; pembangunan ruang publik sesuai fungsinya serta mempertahankan dan meningkatkan kualitas ruang publik.

Penyediaan lahan bagi ruang publik baik dalam wujud taman kota, hutan kota, alun-alun/public square maupun bentuk lainnya merupakan investasi bagi peningkatan kualitas sosial dan ekologis pada habitat perkotaan. Maka penyediaan lahan bagi ruang publik harus dimulai sejak perencanaan tata ruang kota. Hal ini terkadang diabaikan oleh pemerintah selaku pengambil kebijakan pembangunan tata ruang kota. Keberadaan ruang publik seringkali masih dianggap sekedar pelengkap estetika perkotaan yang dapat dibangun pada lahan sisa pembangunan yang tidak strategis. Dampaknya, penyediaan lahan bagi ruang publik tidak begitu mendapat prioritas. Padahal hal ini penting dilakukan mencegah lahan-lahan potensial kian tergerus oleh kepentingan pembangunan ekonomi dan bisnis. Masuknya ruang publik dalam prioritas tata ruang kota dapat menjadi jaminan hadirnya oasis sosial dan ekologis ditengah kepadatan kota.

Masuknya ruang publik dalam prioritas pembangunan belum cukup memberikan jaminan sebuah ruang publik dapat berdaya secara fungsi. Oleh sebab itu pembangunan ruang publik harus tetap memperhatikan esensi fungsionalnya. Pertama, dapat dinikmati dan diakses oleh seluruh masyarakat umum secara bebas sebagai wadah interaksi sosial. Kedua, menyediakan ruang bagi beragam kegiatan manusia dan kepentingan luas. Ketiga, memberikan makna sosial dan ekologis lewat keterpaduan manusia, ruang dan alam sehingga dapat memacu produktivitas. Maka penyediaan ruang publik baik RTH maupun RTNH tidak cukup dilakukan seadanya demi memenuhi tuntutan proporsi ruang publik terhadap luas kota maupun pemenuhan estetika semata. Sayangnya fenomena ruang publik di Indonesia sering terjebak pada hal tersebut. Ruang publik seperti taman kota misalnya, dikondisikan secara indah dan tertata rapi namun cenderung meminimalisir akses manusia. Hal ini terlihat dari minimnya fasilitas dan fitur fungsional, seperti tempat duduk. Lantas bagaimana masyarakat dapat memperoleh kemanfaatan dari ruang publik yang demikian?

Disamping menghadapi tuntutan kualitas, upaya mempertahankan eksistensi fungsi ruang publik memiliki tantangannya tersendiri. Tidak jarang ruang publik yang awalnya terlihat indah dan berfungsi dengan baik, perlahan mulai berubah wajah akibat kurangnya perawatan dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan, tanaman, dan fasilitas yang ada. Selain itu kurangnya perhatian membuat banyak ruang publik kerap beralih fungsi. Salah satu contohnya adalah Taman Topi yang terletak di Kota Bogor. Taman yang dulunya bernama Taman Kebon Kembang ini kini telah berubah menjadi kawasan komersil. Serupa tapi tak sama, pergeseran fungsi ruang publik juga terjadi di Kota Yogyakarta yaitu pada kawasan nol kilometer hingga Alun-alun Lor (utara) Keraton Yogyakarta. Kawasan yang awalnya merupakan ruang rekreasi masyarakat kini lebih didominasi oleh kegiatan perdagangan dan tempat parkir bagi kendaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun