Dulu, tepatnya tahun 2007, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan laporan yang menyatakan indikator pemanasan global yakni kenaikan temperatur total suhu bumi dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,760C dan kenaikan muka air laut dalam rentang waktu antara tahun 1061 sampai tahun 2003 rata-rata 1,8 mm per-tahun. Salah satu indikator yang dicanangkan kala itu ialah mencegah kenaikan suhu bumi hingga 1C. Hampir satu dasawarsa berlalu, tepatnya di Tahun 2016, emisi global telah mencapai sekitar 52 GtCO2e dan diproyeksikan akan mencapai 52-58 GtCO2e pada tahun 2030. Dengan angka ini, angka antisipatif kenaikan temperatur total suhu bumi "bertoleransi" menjadi 1,5C.
Tahun berlalu dan bumi terus mengkonsumsi emisi dari berbagai aktivitas manusia. Angka antisipatif terhadap kenaikan temperatur total suhu bumi semakin bertoleransi meskipun dampaknya semakinmasif terasa diberbagai belahan dunia. Padahal bahaya besar mengancam manusia jika kenaikan temperatur total suhu bumi mencapai lebih dari 1C. Paling tidak laut akan kehilangan lapisan es di atasnya sehingga akan menyerap panas lebih banyak dan mempercepat pemanasan global. Selain itu air tawar akan lenyap dari sepertiga permukaan bumi dan daerah dataran rendah di pesisir pantai akan diterjang banjir. Hal inilah yang dipaparkan oleh Mark Lynas dalam bukunya Six Degrees: Our Future on A Hotter Planet.
Kita dengan segenap aktivitas dalam kehidupan seringkali melupakan dan tidak mau tahu dengan ancaman perubahan iklim yang pengaruhnya telah kita rasakan. Perlu disadari pemanasan global kini bukan lagi sebatas masalah lingkungan, melainkan juga menjadi masalah sosial, ekonomi dan gaya hidup. Mari kita lihat beberapa fenomena yang telah terjadi.
Perubahan iklim berdampak pada tidak menentunya musim hujan dan musim kemarau, menyebabkan hasil-hasil pertanian menjadi tidak menentu kuantitas dan kualitasnya, banyak petani yang gagal panen karena kualitas cuaca yang berubah-ubah. Para nelayan tidak berani melaut karena gelombang laut yang tidak menentu. Kedua hal tersebut akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan harga komoditas dipasaran. Cuaca ekstrim telah membuat berbagai aktivitas menjadi terhambat, contohnya penerbangan.
Kekeringan berkepanjangan yang melanda menyebabkan masyarakat dibeberapa daerah kesulitan memperoleh air bersih sehingga berpengaruh pada kualitas kesehatan. Masyarakat daerah pesisir menjadi semakin sering mengalami banjir dan gelombang pasang, begitupun dengan masyarakat yang bermukim didaerah hulu seringkali mendapat banjir kiriman.
Contoh terakhir bukan merupakan satu-satunya ancaman perubahan iklim terhadap habitat manusia. Wilayah perkotaan merupakan penyumbang terbesar konsentrasi emisi gas rumah kaca, baik dari penggunaan bahan bakar minyak, transportasi, industri maupun sampah. Hal ini membuat masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan juga merasakan langsung dampak pemanasan global yakni menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan. Berkurangnya ketersediaan air, udara yang tidak lagi bersih, suhu udara yang tidak menentu, terganggunya infrastruktur  dan transportasi, terbatasnya penyediaan energi hingga terhambatnya produksi industri dan ekonomi adalah sebagian kecil contohnya. Ironisnya kebutuhan akan permukiman di perkotaan terus meningkat seiring bertambahnya populasi penduduk. Artinya ditengah kualitas dan daya dukung lingkungan yang kian menurun, penduduk yang bermukim diperkotaan justru semakin bertambah padat.
Dampak pada Permukiman
 Semakin meningkatnya jumlah penduduk baik wilayah desa maupun kota berimplikasi pada peningkatan kebutuhan manusia akan hunian. Hal ini ditunjukan dengan semakin banyaknya perumahan dan kawasan permukiman, khususnya diwilayah perkotaan. Seperti yang telah disinggung sebelumnya kawasan perkotaan merupakan penyumbang terbesar konsentrasi emisi gas rumah kaca .  Hal tersebut menjadi mungkin jika melihat realitas kehidupan kota khususnya di indonesia: sedikit sekali memiliki ruang terbuka hijau, transportasi yang semakin tidak efisien dan menjadi penyumbang polusi, penggunaan energi yang tidak dapat diperbaharui semakin meningkat baik untuk industri, perkantoran maupun permukiman, maupun pengelolaan limbah dan sampah yang buruk. Polutan dan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan dari realitas tersebut kemudian masuk ke atmosfer dan semakin memperparah kondisi pemanasan global sehingga menyebabkan iklim tidak lagi stabil. Lantas bagaimana perubahan iklim mempengaruhi lingkungan permukiman?Â
Perubahan iklim yang terjadi telah menyebabkan kualitas dan daya dukung lingkungan semakin menurun. Fenomena yang terjadi saat musim hujan tiba, hujan yang turun selalu dengan curah hujan dan frekuensi tinggi. Kondisi ini menyebabkan kawasan permukiman mudah terancam bencana banjir. Hujan yang turun dengan debit air dan frekuensi yang tinggi tidak dapat terserap ke dalam tanah karena  lahan telah habis untuk bangunan fisik dan infrastruktur sehingga langsung menggenang dan mengalir kedalam saluran pembuangan air.
Ironisnya jaringan drainase diwilayah permukiman perkotaan lebih sering dikelola dengan buruk sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal ini membuat saluran-saluran pembuangan air tidak mampu menampung debit air hujan sehingga menyebabkan banjir diwilayah permukiman. Dampak banjir dikawasan tersebut tidak lagi sebatas mengganggu aktivitas masyarakat, tetapi telah mengganggu sektor sosial dan ekonomi.
Kondisi cuaca seperti musim kemarau dan penurunan curah hujan yang disertai kenaikan temperatur cuaca menyebabkan permukiman kesulitaan memperoleh air  dikarenakan cadangan air semakin berkurang. Seringkali kita mendengar kawasan permukiman dan perumahan mengalami kekeringan dan kesulitan memperoleh air, bahkan ada terpaksa menggunakan air yang tidak layak konsumsi. Kondisi ini tidak hanya akan mempengaruhi kelancaran aktivitas mandi, mencuci, memasak, dan konsumsi tetapi lebih jauh dapar berpengaruh terhadap kondisi kesehatan masyarakat dikawasan permukiman tersebut.
Kemarau berkepanjangan (El Nino) juga menyebabkan daya dukung energi listrik terhadap kawasan permukiman yang mendapat pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga air menjadi terganggu. Kemarau menyebabkan volume cadangan air di beberapa waduk pembangkit listrik berkurang sehingga produksi listrik di pembangkit-pembangkit listrik tenaga air menjadi berkurang dibawah kapasitas produksi normal. Hal ini berdampak pada berkurangnya pasokan listrik kewilayah permukiman, bahkan dapat berujung pada pemadaman listrik bergilir.
Ketidakstabilan cuaca juga menyebabkan penyebaran penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, kolera semakin cepat. Sebagaimana dilansir World Health Organization (WHO), penyebaran penyakit malaria dipicu karena terjadinya curah hujan di atas normal dan dipengaruhi juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti setelah hujan lebat berganti menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong resiko penduduk permukiman terserang penyakit menjadi semakin besar.
Melihat kualitas dan daya dukung lingkungan di permukiman semakin menurun akibat perubahan iklim, kini sudah saatnya mulai memikirkan faktor lingkungan keseimbangan sosial dalam memilih dan menciptakan kawasan permukiman. Artinya sudah saatnya untuk memikirkan bagaimana mewujudkan kawasan permukiman yang ramah lingkungan. Hal ini selaras dengan dukungan pemerintah dengan direvisinya UU No.4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman. Revisi dilakukan untuk mengatasi kekurangan dalam pembangunan perumahan sekaligus sebagai upaya antisipasi, mitigasi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan membangun perumahan dan permukiman ramah lingkungan bagi semua kalangan. Kini tinggal bagaimana kita untuk bertindak nyata mewujudkan perumahan dan kawasan permukim ramah lingkungan untuk menyikapi dampak perubahan iklim.
Mewujudkan "Kampung Jari Beling"
Mungkin kita tidak akan menemukan kampung yang bernama Jari Beling di Indonesia, karena ini memang bukan merupakan nama sebuah kampung melainkan sebuah istilah untuk sebuah ide kawasan permukiman ramah lingkungan. Kampung Jari Beling merupakan singkatan dari kawasan permukiman/perumahan unggul, hijau, mandiri dan berwawasan lingkungan. Agar pengembangan permukiman ramah lingkungan dengan konsep "Kampung Jari Beling" tidak hanya sebatas wacana, maka perlu penjabaran masing-masing indikator agar dapat diimplementasikan secara nyata.
Pertama, unggul artinya kawasan permukiman memiliki keunggulan dari sisi lokasi, lokasi yang dipilih sebagai kawasan permukiman sesuai dengan peruntukan, strategis, dan terbebas dari bencana. Bangunan fisiknya menerapkan green building concept yakni arsitektur yang selaras antarbangunan dan menyatu dengan lingkungan, hemat energi, lahan terbangun terbatas, ruang mengalir, kualitas material bermutu, pemakaian bahan efisien dan ramah lingkungan. Permukiman juga didukung infrastruktur jalan, pedestrian, ekodrainase, jaringan transportasi umum, serta sarana dan prasarana yang lengkap.
Kedua, hijau artinya permukiman minimal menyediakan banyak ruang terbuka hijau, taman, area resapan air, dan pohon-pohon yang berfungsi sebagai tandon air sekaligus pendingin suhu dan penyuplai oksigen. Ketiga, mandiri artinya permukiman memiliki kemandirian dalam pengelolaan  air, sampah, energi serta pengendalian pencemaran udara. Setiap rumah dilengkapi sumur resapan sebagai ekodrainase yang berfungsi menyerap air hujan ke dalam tanah atau ke areal resapan air. Selain itu permukiman juga menyediakan sistem pengolahan air dengan mendaur ulang air buangan cucian, dan limbah dari kamar mandi dan kloset. Air daur ulang bisa dipakai untuk mencuci kendaraan, membilas kloset, menyiram tanaman , lapangan olah raga, dan lain-lain sehingga tak ada air yang terbuang. Permukiman juga harus memiliki tempat pemrosesan sampah dengan prinsip zero waste melalui program 3R (reduce, reuse, recycle). Seluruh penghuni diberdayakan mengurangi pemakaian bahan-bahan sulit terurai sehingga produksi sampah dapat ditekan.
Keempat, berwawasan lingkungan artinya permukiman juga mendukung penghematan energi, mengurangi inefisiensi penggunaan air, menggunakan produk-produk ramah lingkungan dan ikut menggalakan mengurangi polusi. Selain itu juga memperhatikan tata kelola lahan yang selalu menjaga keseimbangan lingkungan, lahan tidak hanya digunakan untuk bangunan fisik, tetapi juga menyediakan banyak pepohonan, ruang terbuka hijau, taman, lapangan olahraga, ekodrainase, pedestrian, hingga septic tank kolektif.
Kampung jari beling tidak hanya dapat diwujudkan pada perumahan dengan tipe horizontal seperti perumahan pada umumnya tetapi dapat pula diterapkan pada perumahan dengan tipe vertikal (town house). Dengan catatan areal permukiman diusahakan dibuat padat, teratur dan tidak boros lahan. Hal ini mengingat lahan diperkotaan yang semakin sempit sekaligus untuk menjamin tersedia banyak lahan untuk pohon, resapan air, taman, dan pedestrian.
Mewujudkan perumahan ramah lingkungan dengan konsep kampung jari beling tidak terbatas pada pembangunan perumahan dan permukiman yang baru akan dikembangkan. Di kawasan permukiman padat yang sudah terlanjur ada pun dapat menerapkan konsep ini. Kawasan permukiman padat yang lahannya terbatas dapat melakukan penghijauan dengan penanaman pepohonan maupun pembuatan taman dengan sistem pot yang berfungsi sebagai peneduh dan penyuplai oksigen. Pengelolaan sampah terpadu juga dapat dilakukan dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) melalui pemberdayaan masyarakatnya. Misalnya sampah organik diolah menjadi kompos, sampah nonorganik didaur ulang atau dijadikan produk kerajinan tangan.
Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah membuat sumur resapan, baik dipekarangan maupun dijalan wilayah perumahan. Dengan demikian mewujudkan perumahan ramah lingkungan dapat diterapkan pada setiap kawasan permukiman tanpa terkecuali, sekarang tergantung bagaimana usaha kita bersama untuk mewujudkannya sebagai wujud tanggung jawab mengurangi dampak perubahan iklim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H