Satu hal yang terbersit di benak kita tentang rumah sakit adalah suatu tempat yang sebisa mungkin kita hindari dengan cara menjaga kesehatan. Akan banyak waktu kita yang tersita saat kita terdampar di rumah sakit. Aktivitas keseharian pun akan terbatas dengan keterbatasan kita. Namun pagi ini saya mencoba menceritakan rumah sakit dari perspektif lain. Perspektif humanis.
Tidak jarang ketika kita berseluncur di social media, kita menemukan curahan-curahan hati para pemuda-pemudi kita tentang cinta sejati. Yang berbunga-bunga dengan cinta, status di social media-nya pun turut berbunga-bunga. Yang tengah kandas asmaranya, akan sering menyertakan kata 'galau' - kosakata lawas yang kini kembali populer - di status social media-nya. Terkadang kita memang sangat complicated dalam mendefinisikan arti dari cinta sejati itu. Justru definisi itu yang saya dapatkan daru tempat yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Tempat yang bagi sebagian orang ingin dihindari sebisa mungkin. Rumah sakit.
Saya salah seorang korban kecelakaan dan mengalami fraktura di lengan kiri bagian atas. Sudah empat hari saya dirawat di rumah sakit. Mungkin saya tidak akan bisa sharing pengalaman saya ini jika saya masuk ke ruangan kelas satu atau VIP. Justru ruangan kelas dua ini yang menghadirkan banyak kisah. Di bilik sebelah saya, ada seorang kakek - yang saya tidak tahu apa penyakitnya - yang dengan tabah menjalani hari-harinya di rumah sakit ditemani dengan istrinya yang amat setia. Mulai dari menyuapi ketika makan hingga mengantarkan ke toilet dilakukan sang istri dengan penuh kesetiaan. Dibilik sebelahnya lagi, ada seorang kakek berusia 80an ditemani sang istri dan sang anak. Mereka berdua sama-sama bawel, namun dari celotehan-celotehan ketika mereka membawel, sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sangat sayang pada suami dan bapaknya. Belum lagi seorang istri dari Tapanuli yang juga dengan setia menunggu suaminya. Dan saya rasa beliau tidak merasa sendirian menghadapi cobaan sakit yang diterima oleh suaminya karena silih berganti kerabat-kerabatnya sesama orang Tapanuli hadir menjenguk dan memberikan semangat. Sangat inspiratif persaudaraan yang mereka tunjukkan.
Pun dengan yang saya rasakan saat ini. Silih berganti, paman dan orangtua saya menemani saya melalui hari-hari di rumah sakit. Seorang paman yang kebetulan jadwal liburnya berbarengan dengan liburan anak sekolah, turut menemani saya dari hari pertama di rumah sakit. Banyak hal yang dapat meringankan penderitaan di kala sakit, salah satunya yang saya rasakan adalah sentuhan tangan ibu. Perasaan nyaman, itulah satu hal yang bisa saya gambarkan dengan kata-kata.
"Anak sayang ayah, paman sayang ponakan, istri sayang suami. Aah, knp mesti jauh cr cinta sejati. Di kamar RS ini, brtebaran cinta sejati itu"
Kalimat di atas merupakan salah satu kicauan saya di social media Twitter beberapa saat yang lalu. Kicauan saya tersebut diamini oleh beberapa teman dengan respons positif. Mereka bercerita melalui komentarnya bahwa mereka menemukan hal yang sama seperti yang saya ungkapkan dalam kicauan saya tersebut.
Selayaknya filosofi hidup, "Kita ini bukan miskin, namun kita sedang berjuang." Ya, berjuang mempunyai seribu makna dan salah satu makna yang selalu tersirat dalam kata "berjuang" adalah perjuangan menemukan cinta sejati. Cinta tidak melulu soal syahwat, cinta itu bisa soal dedikasi, kontribusi, kesetiaan, dan pengorbanan
Jakarta, 23 Desember 2011 pukul 04.30
Teruntuk mereka yang sedang gigih berjuang menemukan arti kata cinta sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H