Mohon tunggu...
Martin Herdika
Martin Herdika Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Undergraduate Student of Faculty of Economics and Management Bogor Agricultural University (Majoring in Economics and Development Studies) | Interested in Political Economics, Public Economics, and Development Economics | Former BEM FEM IPB Activist

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Renungan Bubur Ayam

20 Januari 2011   19:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12955533601415928035

Alhamdulillah, hari ini adalah hari terakhir saya menjalankan UAS. Mata kuliah terakhir yang saya hadapi adalah Ekonomi Pembangunan II. Setelah hampir dua minggu berpusing-pusing menghadapi UAS, kini tiba gilirannya tubuh dan pikiran ini 'diparkir' sejenak agar dapat kembali fighting di semester depan. Biasanya orang-orang yang baru saja menyelesaikan pekan UAS-nya, akan memenuhi agendanya dengan sederet aktivitas hedoism, misalnya dengan menonton bioskop, berkaraoke, hingga jalan-jalan ke Bali. Namun untuk pekan pertama liburan ini, saya belum memiliki ide untuk menghabiskannya. Setelah seharian menghabiskan waktu join kopi (istilah saya dan teman-teman saya yang merujuk kepada aktivitas nongkrong, kongkow-kongkow, dan sebagainya) dengan main Pro Evolution Soccer 2010 di salah satu kostan teman sekelas dan dilanjutkan dengan nonton DVD Gladiator (saya merasa sebagai makhluk purba karena baru pertama kali menyaksikan film yang sudah cukup lama tersebut), saya memutuskan mengambil kunci motor saya untuk makan malam di sebuah sudut kota Bogor yang terkenal dengan suguhan kulinernya. Memang yang saya pesan bukan makanan spesial seperti lasagna atau mungkin pizza. Saya hanya memesan semangkuk bubur ayam dan dua tusuk sate jeroan. Sungguh sangat biasa bukan? Namun ini bukan sembarang bubur ayam. Ini adalah bubur ayam Mang Kumis Mantarena (begitulah saya dan teman-teman saya menamainya, walau sebenarnya tidak ada tambahan kata Mantarena di dalamnya) yang disajikan dengan sangat profesional untuk standar makanan low cost. Saya pertama kali tahu tempat ini ketika bulan Ramadhan tahun kemarin. Alhamdulillah, biasanya saya harus mengantri hingga 5-10 menit, namun agaknya untuk malam ini bubur Mang Kumis Mantarena sedikit lengang. Bubur ayam ini memang selalu dipadati oleh pengunjung. Ada hal yang selalu menggelitik saya ketika makan di bubur ayam Mang Kumis Mantarena. Walau di sebelahnya ada penjual bubur ayam, namun yang selalu dipadati oleh calon pembeli hanya bubur ayam Mang Kumis Mantarena. Suatu ketika, saya pernah mencoba bubur ayam di sebelahnya, dikarenakan bubur ayam Mang Kumis Mantarena telah sold out di malam itu. Dengan agak sedikit kecewa, saya memesan bubur ayam di sebelahnya. Dari segi rasa, sangat jauh dengan bubur ayam Mang Kumis. Itu menjadi salah satu hipotesis saya, bahwa bubur ayam Mang Kumis Mantarena selalu laris-manis. Lalu saya memperhatikan dari cara berpakaian penjualnya (Mang Kumis, atau entahlah siapa namanya), Ia selalu berpakaian rapi dan berbatik. Ini menjadi nilai plus bagi para pembelinya yang sebagian darinya merupakan kaum bermobil (dengan kata lain kaum menengah ke atas, yang relatif memperhatikan hal lain selain cita rasa). Dari segi profesionalisme, kemampuannya pun tidak perlu diragukan, karena memenuhi kriteria service excellence. Misalnya penyajian cepat, tidak diskrimininatif, dan ini yang paling penting saya boleh tambah kerupuk jika saya minta. Tulisan ini mungkin secara langsung mempromosikan keberadaan bubur ayam Mang Kumis Mantarena. Tapi ada satu poin penting yang saya tangkap. Poin ini terkait dengan kemauan kita mencari ilmu. Secara lugas, Mang Kumis mengajarkan pada kita bagaimana caranya menjual dengan baik dan memberikan pelayanan terbaik agar konsumen mau datang lagi. Ilmu marketing tidak melulu kita pelajari di kelas Manajemen. Hal-hal kecil di sekitar kita pun bisa kita temukan sebagai ilmu. Ada satu status Facebook yang membuat saya terpana terkait dengan pembelajaran di mana saja. Lewat status tersebut teman saya memaparkan pengalamannya ngobrol dengan pengamen di terminal di Bandung ketika ia hendak pulang ke Bogor. Ia menanyakan pada pengamen tersebut apakah pengamen tersebut hidup bahagia atau tidak. Yang menarik di sini adalah, pengamen tersebut menjawab dengan sangat filosofis. Ia berkata bahwasanya ia sangat bahagia walau hidup pas-pasan karena ia masih memiliki keluarga yang harmonis dan ia sangat mensyukurinya. Ya, dengan bersyukur kita sudah bahagia teman-teman. Kalau Anda menjadi seseorang yang diberi sebidang tanah seluas satu hektar apa yang akan kalian lakukan? Membangun rumah untuk bermewah-mewahan kemudian mengeluh karena merasa tanah yang kita peroleh kurang ataukah kita bersyukur atas pemberian Allah tersebut? Sudah tentu Anda sudah cukup pintar menjawab dan menyikapinya. Yang membuat saya betah makan di bubur ayam Mang Kumis Mantarena salah satunya adalah lokasinya yang dekat dengan eks SMA saya. Jadi terkadang sekalian bernostalgia. Ada pertanyaan yang hinggap ketika kita bernostalgia sembari merenung apa saja yang sudah kita lakukan selepas SMA hingga kini? Apakah kita sudah menjadi insan yang progresif? Apakah kita sudah menjadi insan yang berubah? Jika ya, berubah ke arah manakah kita? Merugikah kita bila kita belum menjadi insan yang berubah? Tentu pertanyaan tersebut bisa dijawab sendiri oleh Anda karena masing-masing diri kita punya standardisasi terkait dengan hal tersebut. Sayup-sayup ringtone handphone Nokia saya berdering ketika ada panggilan masuk dari ibu saya. Saya diminya pulang karena ada hal yang harus diselesaikan. Semoga tulisan saya ada manfaatnya karena saya mendedikasikan waktu saya untuk menulis ini sebagai waktu yang bermanfaat. Jika dirasa kurang bermanfaat dan kurang berkenan silakan dikritik dan mari berdiskusi, karena saya senang dengan diskusi. Selamat malam, Bogor, 21 Januari 2011

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun