Mohon tunggu...
Martina Prianti
Martina Prianti Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pahlawan Zaman Kita? Guru

25 November 2013   17:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pahlawan Zaman Kita, demikian judul buku berisi prosa Mikhail Lermontov, salah satu penyair besar Rusia, yang pertama kali terbit pada 1840. Buku setebal 200 halaman terbitan KPG (2009) itu masih teronggok sekitar 10 derajat dari posisi layar komputer, yang saya pergunakan untuk mengetik tulisan ini. Entah bagaimana ceritanya, buku tersebut ada di meja kerja..sepertinya, kala itu saya bawa sebagai teman perjalanan sewaktu saya menggunakan kendaraan umum dari kosan menuju kantor.

Tetapi tulisan ini bukan mengenai Lermontov maupun prosanya yang mencoba menggambarkan suasana kaum muda Rusia abad ke-19 ketika modernitas dinilai mencabut mereka dari tradisi dan spiritualitas serta di sisi lain, menghadapkan mereka kepada nilai-nilai modern yang progesif tapi kosong makna dan destruktif. Dalam tulisan ini, saya hanya mengambil judul prosa Lermontov.

Sekadar catatan, inipun bukan untuk pertama kali saya mengutip judul prosa Lermontov. Pada tulisan opini saya berjudul Kelas Inspirasi: Tak Ada Batasan Mengajar dan Diajar, yang saya tulis pada 12 September 2013 dan juga di Kompasiana, saya memang sempat mengutip judul buku Lermontov. Dalam tulisan tersebut saya menulis; “Dan jika Mikhail Lermontov, penyair asal Rusia, sempat bertanya “Pahlawan Zaman Kita?” maka saya menjawabnya, mereka adalah Guru.

Tidak berubah pendapat, penilaian saya saat ini pun masih sama. Buat saya, pahlawan zaman kita adalah guru. Tentu di luar itu, pahlawan pertama bagi saya pribadi adalah kedua orang tua dan keluarga.

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Meski demikian, kenyataan berbicara tugas seorang guru nda hanya mengajar. Mengutip kalimat kaka pertama-ku yang berprofesi sebagai guru, kalau mau jadi guru sebaiknya bisa bedakan dahulu antara mengajar dan mendidik.

Nah soal mendidik, saya teringat kalimat bu Mamah, Kepala Sekolah SDN Kayuringin Jaya XIX Bekasi, mengatakan; “Mengajar itu mudah tetapi yang sulit dan butuh keiklasan terus adalah mendidik. Kami terus berupaya untuk itu.” Adapun sekolah dasar SDN Kayuringin Jaya XIX Bekasi adalah sekolah dasar tempat saya dan teman-teman yang tergabung dalam sebuah kelompok dari kegiatan Kelas Inspirasi Bekasi, menjadi  relawan; relawan pengajar, relawan fotografer, dan relawan videografer.

Lebih lanjut soal mendidik, saya kembali teringat film Sokola Rimba yang baru saja saya tonton bersama teman-teman #Gazeboo pada Sabtu malam (23/11). Film yang diangkat dari kisah nyata Saur Marlina ‘Butet” Manurung saat mengajar anak-anak rimba di Hutan Tanam Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah nyata yang sebelumnya telah didokumentasikan dalam buku dengan judul sama: Sokola Rimba.

Buat saya (yang tak paham tentang sinematografi), film yang dirilis pada 21 November dan diangkat ke layar lebar oleh Riri Riza dan Mira Lesmana, amat keren. Keren dalam artian, sebagai salah satu contoh indah mengenai mendidik. Film yang dikabarkan melibatkan 80 orang kru orang rimba (asli), ini menurut saya mampu menggambarkan dua sisi (secara khusus) yakni mengenai; hutan (dan yang terkaitnya) serta pendidikan (dan juga guru di dalamnya).

Menurut saya, melalui film Sokola Rimba, kita siapa-pun dan apa-pun jabatan serta profesi, memiliki tanggung jawab; menjaga kelestarian alam wabil hutan serta, dalam hal pemerataan pendidikan. Mengenai pendidikan, tanpa terkecuali bagi mereka yang ada di pedalaman hutan maupun bagi mereka yang tinggal di laut.

Dalam sebuah adegan film Sokola Rimba, Sang Ibunda Butet seingat saya mengatakan; kamu punya cinta yang besar untuk mereka. Dan penyadaran kembali mengenal hal itulah yang membawa (pulang) Butet ke tengah anak-anak Rimba. Bagaimana dengan kita? Sila berkaca dan menjawab dalam hati masing-masing.

Menurut saya, Butet memilih menjadi guru namun nda sekadar mengajar, ia mendidik. Dengan sikap dan dedikasinya, ia jadi salah satu contoh nyata nan indah pengabdian seorang guru yang berupaya membekali anak-anak didiknya. Menjadikan; ‘pengetahuan sebagai senjata beradapatasi.’ Yah, sekalipun mungkin benar kalau; ‘kutukan ilmu pengetahuan memang ada?.’ Alasan yang terdapat dalam film tersebut sederhana; ‘hal yang penting dari pendidikan adalah pendidikan yang membuat mereka siap menghadapi tekanan perubahan.’

Dan menurut saya, seperti halnya seorang guru yang dalam arti sebenarnya, Butet memang seorang guru. Nda sekadar pengajar tetapi juga pendidik. Karenanya saya nda heran saat dalam film tersebut, Butet mengatakan; ‘aku mengajar di sini tetapi sesungguhnya, aku-lah yang banyak belajar di sini.”

Terkait kalimat Butet tersebut, saya pun sempat merasakannya. Meski pengalaman saya tidak sebesar Butet yang menjadi guru bagi anak-anak rimba, melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih kepada ‘alam semestas’ yang memberikan ruang bagi saya tuk turut serta dalam kegiatan Kelas Inspirasi. Hingga kemudian saya berpikir, sesungguhnya bukan sekadar perlu menyiapkan diri mengajar tetapi juga ‘diajar’. Dan semuanya, secara alamiah atawa otomatis kan berjalan dengan sendirinya.

CS Lewis, penulis asal Inggris, pada sebuah karyanya mengatakan; the task of the modern is not to cut down jungles but to irrigate deserts.’ Dan terkait kalimat Lewis, terbesit sebait harapan; moga semangat yang sama kian dan selalu menyertai mereka yang memilih profesi dan atawa peduli pada pendidikan serta anak-anak.

Dan melalui tulisan ini, diri ini mengucapkan: Proficiat tuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), 25 November. Dengan atau tanpa pemberian tanda jasa, percaya-lah kalian para bapak dan ibu guru, menjadi pahlawan bagi kami anak-anak didikmu.

Berkah dalem.

Jakarta Sarinah, 25 November 2013 (17.40)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun