Mohon tunggu...
Martina Prianti
Martina Prianti Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ia Menunggu Saya, Kamu, Kita

22 Mei 2014   23:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:13 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seketika pikiran ditemani perasaan, melangkah meninggalkan tubuh. Demikian yang Ira rasakan begitu membuka halaman 49 dari buku berjudul  Ziarah, kumpulan cerita Leo Tolstoy, sastrawan Rusia. Ditulis dengan tinta bold, dalam halaman itu tertera judul “Tuhan maha tahu, tapi Ia menunggu.”

Tak langsung melanjutkan membaca, Ira menutup buku yang berisi 10 cerita itu. “Tuhan maha tahu, tapi Ia menunggu,” demikian ucap Ira tanpa bersuara. Simfoni  adu klakson di jalanan maupun suara gaduh di dalam bus yang akan mengantarkannya menuju kantor, tidak ia dengar.

Kalimat yang tertangkap mata tersebut, membuat Ira merasa berada di dunia berbeda. Hanya ada kalimat  “Tuhan maha tahu, tapi Ia menunggu,” yang mengisi pikiran dan perasaannya. Kalimat tersebut, kembali ia katakan berulang-ulang, dalam hening.

Adalah kalimat; “neng, ongkosnya neng,” yang diucapkan kernet bus disertai dengan menyentuh bahu Ira, membuatnya tersadar akan kekinian. Berada di dalam bus menuju kantor dan belum membayar ongkos bus. Meski demikian, Ira masih saja mengulang kalimat yang dikatakan Tolstoy tersebut baik saat masih di dalam bus, di kantor, pun saat tiba di rumah. Yah, dalam diri atawa dalam hati.

Ira menyadari, sesungguhnya bukan untuk pertama kalinya ia akan membaca buku Ziarah. Medio 2013, ia sudah menuntaskan melahap buku  berisi 338 halaman itu. Belum ada stok bacaan baru jadi baca ini lagi saja, demikian ucap Ira pada dirinya dua hari yang lalu. Mari membunuh waktu menuju kantor dengan membaca, katanya pada dirinya sendiri setiap kali membuka halaman buku saat di atas angkutan umum. Tak pelak, selalu ada buku dalam tasnya.

“Apa karena aku bosan tinggal dan bekerja di Jakarta? Apa karena aku merindu suasana hening nan damainya Rawaseneng dan Gedono? Apa ini yang namanya panggilan?  Apa karena aku merasa kesepian? Tunggu, Panggilan? Tuhan memanggilku? Apa iya? Apa saya pantas? Lalu bagaimana dengan keluarga, pekerjaan, dan perasaan saya? Engkau memanggil aku kah Tuhan?,”  demikian pelbagai tanya datang menghantui dan membuat Ira gelisah. Kondisi tersebut Ira alami beberapa hari hingga mampu menghilangkan kebiasaannya membaca di atas bus. Pelbagai tanya itu pun tidak mampu dilenyapkan dari pikiran meskipun ia menambah daftar kesibukannya.

Tidak ada yang kebetulan. Hampir genap sepekan Ira dalam kondisi demikian, ia menemukan buku catatannya saat tengah mengikuti retret pribadi di sebuah rumah retret di Unggaran, Jawa Tengah. “Tuhan ingin kamu bahagia; bahagia dengan kerinduan hatimu maka cobalah dengar suara hatimu,” ucap Sang Romo pembimbing kala itu.

Ira melanjutkan membaca tulisan tanganya sendiri yang berisi kutipan kalimat-kalimat Sang Romo; “Hidup itu memberikan rahmat. Kenali Tuhan dalam kerinduan hati kecilmu. Lihat apa yang membuatmu paling bahagia.  Apapun kerinduan hatimu dan pilihanmu, Tuhan  selalu menyayangimu. Terbukalah pada Tuhan Allahmu. Tidak usah takut.”

Ira menutup buku sakunya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mata Ira tertuju pada Salib kecil yang berdiri disela-sela tumpukan bukunya. Ira tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya beberapa hari terakhir. Ia hanya mampu merasakan, pikiran dan perasaannya tentang pilihan hidup ‘seperti apa’ bergejolak. Sontak, air membuncah dari kedua matanya.

Suara tangis berisi kesedihan, kebingungan dan juga harapan memenuhi kamar dan dunianya. Tanpa ia kehendaki, pikiranya mengkalkulasi plus minus tentang pilihan hidup; menikah, tidak menikah, membiara. “Tuhan, itulah kalkulasiku sebagai manusia. Apa kehendakMu? Kasihani aku,” ucap Ira tanpa suara dengan masih tetap memandang Salib. Merasa lelah, Ira berbaring dan malam itu tertidur dengan berselimut tanya.

Merasa putus asa dan bingung mesti bagaimana, Ira memutuskan menelpon Sang Romo pembimbing rohani dan menceritakan apa yang ia alami. Dari balik telepon, Sang Romo mengatakan; satu-satunya cara untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan apakah Tuhan memanggilmu, adalah dengan berdoa dan mohon petunjukNya, dengarkan kerinduan hati kecilmu, Tuhan menginginkan kamu berbahagia jadi siapkan dirimu dipakai Tuhan, tidak usah takut Tuhan menyayangimu.”

Hari itu, Ira merasa Tuhan memberikan tambahan pilihan bagi hidupnya. Mengutip kalimat seorang Nabi, Ira berkata dengan lirih setiap kali ia gelisah mengenai pilihan hidup: berbicarah Tuhan, hambaMu mendengarkan.

Deus..noverim me, noverim Te. Deus semper maior,”; Tuhan, izinkan aku mengenal diriku, mengenal Engkau. Tuhan, Engkau selalu lebih besar dari apa yang aku pikirkan.

Ira mengakui kelekatan dan ketakutan mengenai pelbagai hal, masih mengelilingi dirinya. Tak ayal ia berharap, Tuhan berkenan menganugrahinya keberanian untuk memutuskan sikap hidup memilih panggilan hidup sebagai apa dan seperti apa, sekarang dan selama-lamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun