Mohon tunggu...
Martina Dosy
Martina Dosy Mohon Tunggu... -

Saya dan ide, itu saja..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Paragraf untuk Engkau, Adik Perempuanku...

11 Februari 2015   21:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:24 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kepada engkau, adik perempuanku....

Bagaimana warna langit beberapa hari ini tampak dari bibir jendelamu ? si bujang bungsu dan aku tak lagi sua dengan biru yang laut, atau laut sedang didera ombak dari belahan lain membawa serpih-serpih pedih yang jelaga, saat bulir-bulir airmata menjelma menjadi butir-butir hujan, deras yang menebar perih dan guntur sebagai suara pekik hati yang tak mampu lagi kau tahan ? Si bujang bungsu dan aku, kami sudah berjam-jam berhujan-hujan meresapi gigil dari rintik sedih yang sedang engkau tumpahkan, lalu kepada rintik-rintik itu pulalah si bujang bungsu titipkan cinta yang tlah susah payah dia bangun pada lapang masa mudanya, dia membangunkanmu sebuah kastil, di ruang hatinya yang mungkin lebih luas dari semesta, hingga apabila engkau berdiri di puncaknya, engkau mungkin akan mampu merasa hanya sejengkal dari surga, karena bukankah Tuhan dan Manusia hanya berjarak sejauh daging dengan kulit ?. Dan, kini si bujang bungsu tak lebih dari seorang raja pada kastil yang hampir menuju ketiadaannya, sudah kusaksikan bagaimana dia memunguti balok batu yang satu-persatu berjatuhan menghujam tubuhnya yang lelah. Hati nya ?, membiru seperti sudah disapu seribu teguk racun.

Kepada, engkau adik perempuanku...

Bertahun-tahun aku menghabiskan hari bersama si bujang bungsu, maka untuk menyambut engkau, sudah kusemai benih lavender di taman paling rahasia, agar dapat kupetik pada permulaan Agustus dan engkau akan mampu menghirup harumnya dari sudut-sudut kamar. Nanti si bujang bungsu akan merangkainya, apabila engkau mau pulang ke kastil si bujang bungsu. Bahkan apabila cinta hanya sisa-sisa dari keikhlasan, biarkan si bujang bungsu yang akan membenahinya menjadi sebuah utuh untuk engkau miliki selamanya, aku tahu betapa terampilnya dia.

Kepada engkau, adik perempuanku...

Engkau dan aku adalah turunan Hawa berikut segenap aura perasaan yang dititipkan surga, warna yang sama, cecap yang getir bila engkau sebut getir, manis bagi engkau bila kusebut manis. Aku mampu meraba setiap gurat perih diruang dadamu akhir-akhir ini, perasaan yang akan engkau benarkan bila kuuraikan. Aku juga mencoba menceritakan perih di ruang dada si bujang bungsu untuk kumengerti sendiri, lalu kutuliskan semuanya pada satu rangkai paragraf, untuk engkau baca dan untuk direnungi si bujang bungsu.

Kepada engkau, adik perempuanku...

Sepanjang pengetahuan yang resap pada nalar dan kalbuku sepertiga abad ini, cinta tak pernah menjadi demikian nestapa :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun