Mohon tunggu...
Martina Dosy
Martina Dosy Mohon Tunggu... -

Saya dan ide, itu saja..

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Guci Ajaib Nenek

18 Oktober 2013   19:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:21 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FFA : 403

Adrian berdiri termangu melihat banyak lukisan yang terpampang didinding rumah neneknya, sudah hampir satu tahun dia tidak menjenguk neneknya yang kini hidup sebatang kara karena sang kakek telah meninggal dunia dua tahun lalu. Rumah tua yang tak banyak berubah, cat terkelupas ada disetiap sudut tapi kehangatan rumah ini masih terasa, bau kayu jati di ruang tamu merupakan ciri khas yang tak dijumpai Adrian dirumah-rumah lain. Adrian merindukan rumah ini, terlebih dia rindu pada neneknya, dongeng-dongeng pengantar tidur yang selalu diceritakan oleh sang nenek sangat seru, terlalu seru hingga tak jarang terbawa mimpi. Chika, sepupu Adrian yang dulu sama-sama menghabiskan waktu liburan dirumah ini juga sangat menggemari dongeng neneknya, dia selalu menceritakan ulang kepada teman-teman disekolahnya. Meskipun Adrian dan Chika masih belum menemukan jawaban darimana sang nenek memperoleh dongeng-dongeng itu, apakah sewaktu kanak-kanak sang nenek diceritakan pula dongeng yang sama atau itu imajinasi sang nenek yang luar biasa. Adrian ingat pada suatu malam menjelang tidur, sang nenek mengusap-usap kepalanya sambil bertanya apakah dia ingin diceritakan sebuah dongeng dan Adrian pun mengangguk senang. Dongeng itu tentang seorang anak laki-laki yang bermain terlalu jauh dari rumah, memasuki hutan yang dilarang oleh sesepuh desa untuk dijangkau anak-anak. Siam, nama bocah laki-laki itu, suatu siang dia penasaran dengan apa yang membuat hutan itu dilarang dijamah oleh anak-anak maka diam-diam dia menyusup dan mulai menjelajahi hutan itu sendirian. Siam menyukai hutan itu, banyak tumbuhan yang tidak pernah dilihatnya hidup subur disana, beberapa kelinci juga tampak sesekali bergerombol lalu hilang di semak-semak. Siam mengejar kelinci-kelinci itu, menerobos ilalang dan semak, beberapa duri kecil menancap di kakinya tapi Siam tetap berlari tak putus asa, semakin jauh dia memasuki rimbunan dan mendapati sebuah pemandangan yang luar biasa. Sebuah desa kecil, maksudnya segala hal didesa itu memang berukuran mini mulai dari rumah dan binatang-binatang penghuninya. Sesaat kemudian Siam dikejutkan oleh suara seorang anak perempuan.

Halo, kamu siapa ?”, tanya suara anak perempuan itu.

“Namaku Siam, kamu dimana ?”, kepalanya menoleh kekanan-kekiri mencari sumber suara anak perempuan itu.

Dibawah sini”, ternyata anak perempuan itu hanya berukuran sebesar kelinci dewasa dan sedang berdiri tepat didepan Siam, dibawah tepatnya.

Kamu kecil sekali ?, rumahmu disini ?”, tanya Siam karena penasaran.

“Tidak aku hanya bermain disini, tubuhku sebenarnya sama sepertimu, rumahku jauh diluar sana”, Nina merasa geli dengan pertanyaan Siam.

“Oh, ya namamu siapa ?”.

“Nina”.

Kedua anak kecil itu bermain ditepian sungai yang tak biasa, air sungai ini berubah-ubah tidak hanya warnanya tapi juga rasanya. Beberapa bunga tampak mengeluarkan madu segar dan ranting-ranting pohon ditempat itu sangat gurih seperti kudapan stik bawang buatan ibu Nina.

“Jeruk !!”, Siam berteriak girang kearah Nina yang bergelayut disebuah ranting.

“Lihat berubah ungu, pasti Anggur”, teriak Nina yang kini duduk ditepi sungai dan melipat sebuah daun untuk dijadikan gelas, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk Siam.

Hari sudah menjelang maghrib dan Siam tahu bahwa ini saatnya pulang sebelum ayahnya marah besar, dia berjanji pada Nina bahwa keesokan hari setelah dia membantu ayahnya menyemai padi, dia akan langsung menuju ketempat itu. Ayahnya selalu berpesan bahwa Siam harus menepati janji.

Keesokan hari Siam berlari kearah hutan untuk menemui teman barunya, Nina. Aneh memang tapi tubuhnya menyusut dan kini dia hanya setinggi Nina, mereka pun menghabiskan waktu sesiangan dengan bermain bersama seperti kemarin. Hingga ketika Siam berpamitan pulang, Nina mengajaknya kesebuah lubang pohon dan mengeluarkan sebuah guci berwarna hitam yang berhias bunga-bunga berwarna emas, “ini yang membuat aku bisa pergi kesemua tempat-tempat ajaib, aku hanya tinggal memasukkan tanganku kedalaamnya sambil memejamkan mata”, dan Siam pun mengerti tentang asal-usul Nina.

Chika juga pernah menceritakan pada Adrian tentang dongeng sang nenek, sebuah cerita tentang seorang anak perempuan yang bersama dengan koloninya hidup di Kutub utara dan tinggal disebuah rumah es yang sering disebut igloo. Gadis bernama Ivana itu memiliki sebuah papan seluncur yang bisa melesat seperti petir, hadiah ulang tahun yang ke delapan dari kakeknya. Tidak ada yang tahu kehebatan papan seluncur Ivana tersebut kecuali Doby, anak serigala yang sudah diasuhnya sejak bayi. Ayah Ivana sering meminjam papan seluncur itu jika pergi berburu agar bisa mudah membawa hasil buruannya tetapi bahkan ayahnya pun tak tahu keajaiban papan seluncur itu. Suatu pagi Ivana bermain papan seluncurnya hanya berdua dengan Doby, sebelum akhirnya dia mendapatkan seorang teman baru yang entah darimana tiba-tiba menghampiri.

“Halo..”, sapa anak perempuan sebaya Ivana itu dari belakang. Ivana hanya melambai dan tersenyum. Kemudian Ivana berbicara beberapa kalimat dengan bahasa yang tidak dipahami oleh anak perempuan itu.

“Ivana”, sambil mengulurkan tangan, “doby”, menunjuk anak serigala berbulu abu-abu putih yang lucu.

“Nina”, perkenalan yang singkat dan membuat kedua anak perempuan sebaya itu berteman akrab untuk beberapa saat.

Ivana mengajak Nina duduk diatas papan seluncurnya dan menuruni lembah salju kemudian tiba-tiba.... Blaaaaaast... papan seluncur itu melesat kencang, Nina berteriak girang sambil memegang erat tangkai kemudi papan seluncur dan Ivana tertawa mengetahui ketakutan Nina, tapi Ivana menjaga Nina agar tidak jatuh dengan mengatakan kepada Nina agar memegang tangkai kemudi. Ketika papan seluncur itu berhenti, Nina terlihat sangat terhibur sekaligus takut, tapi dengan gerakan tangan Ivana menjelaskan kepada Nina bahwa papan seluncurnya ini tidak berbahaya, karena ketika papan itu mulai mengeluarkan kecepatan tinggi maka muncul tangkai kemudi yang secara ajaib keluar dari ujung papan seluncur. Suatu hari Ivana mengajak Nina untuk makan siang dirumahnya, ibunya memasak sup daging rusa hasil buruan ayahnya kemarin. Nina merasa senang dengan ajakan Ivana terlebih karena dia belum pernah makan sup daging rusa. Ibu Ivana bertanya kepada Ivana dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Nina tetapi Nina paham maksud dari pertanyaan ibu Ivana pasti tentang asal-usul Nina dan Ivana hanya menggelengkan kepala tetapi keluarga Ivana sangat ramah dan memperlakukan Nina seperti anak mereka sendiri. Gregory, ayah Ivana memang orang yang sangat ramah di koloninya, dia tidak suka membeda-bedakan orang dari sudah lama kenal atau baru saja kenal, maka Ivana pun meniru kebiasaan ayahnya untuk selalu suka berteman dengan siapapun tanpa membeda-bedakan. Keesokan hari Nina menghampiri Ivana yang sedang duduk didepan rumah Igloo nya sambil membuat boneka salju bersama Doby, Ivana menunjuk guci berwarna hitam dengan hiasan bunga-bunga berwarna emas yang sedang dibawa oleh Nina dan kemudian Nina dengan gerakan tangan menjelaskan bahwa dia masuk kedalam guci dan sampai dilembah salju tempat Ivana bermain papan seluncur beberapa waktu lalu.

Suatu hari Adrian dan Chika menyadari jika nama tokoh didalam dongeng neneknya adalah seorang bocah perempuan bernama Nina dan sebuah guci berwarna hitam dengan hiasan bunga-bunga berwarna emas. Mereka menghampiri neneknya yang sedang merajut untuk menanyakan kenapa setiap dongeng neneknya itu ada bocah perempuan bernama Nina. Neneknya sedikit terkejut mendengar pertanyaan kedua cucunya itu tetapi tidak lama kemudian sekeluarnya dari kamar sang nenek membawa sebuah guci. Adrian dan Chika tertegun melihat guci yang ciri-cirinya persis seperti guci yang selalu ada didongeng neneknya.

“Kalian tahu nama nenek siapa kan ?”, sang nenek akan mengatakan sebuah rahasia kepada Adrian dan Chika.

“Deanina sekarningrum”, jawab Chika yang dibenarkan oleh Adrian.

“Ibu nenek selalu memanggil nenek dengan nama Nina, dan guci ini adalah pemberian seorang kakek yang nenek tidak pernah kenal ketika nenek pulang dari sekolah dulu”, Adrian dan Chika saling memandang dan kemudian memeluk erat neneknya, mereka selalu kagum pada sosok Nina yang bisa menjelajahi berrbagai sudut dunia dan menjumpai hal-hal menakjubkan serta mendapatkan teman-teman yang istimewa.

“Siam dan Ivana memberi pelajaran untuk nenek agar kita tidak boleh memilih-pilih teman, jangan sombong dan belajarlah untuk selalu berbagi”, nenek mengusap-usap rambut Adrian dan Chika.

Adrian terkejut ketika Chika menepuk bahunya dari belakang kemudian memeluknya, sudah lama juga dia tidak bertemu dengan sepupunya itu. Mereka bergandengan melihat sebuah guci berwarna hitam dengan hiasan bunga-bunga berwarna emas yang disimpan didalam kotak kaca dan diletakkan diatas meja tepat disamping foto almarhum kakek mereka.

“Pie apel nya sudah matang, anak-anak...”, suara nenek Nina dari dapur membuat Adrian dan Chika lari berlomba-lomba menuju dapur untuk memeluk nenek kesayangan mereka itu dan bersiap-siap mencicipi pie apel buatan neneknya yang sangat lezat.

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun