Ingin lari dari kenyataan. Mungkin itu lah kata-kata jadul yang selalu ada dipikiran saya.
Bagaimana tidak, selalu dikhianati dan dikecewakan, itu seperti nasi yang selalu ada diwaktu makan anda. Saat sahabat-sahabat saya sudah merasakan indahnya pernikahan, atau bahagianya menggendong anak, saya masih menikmati kesendirian saya.
Beberapa bulan yang lalu, gaun pengantin itu sudah pas dibadan saya. Tapi terpaksa harus saya buang karena “selingkuhannya” menagndung anak calon pendamping saya didepan altar. Saya bisa apa? Menangis? Ya, hanya itu yang bisa saya lakukan. Saya merasa sendirian.
Apa salah saya? Kenapa saya dikhianati? Hanya pertanyaan itu yang selalu muncul saat saya menutup mata. Tapi maaf, saya tidak menangis dihadapan orang lain. Saya tertawa, terlihat bahagia, bahkan kadang saya menjadi semacam “badut” untuk orang disekitar saya yang sedang menangis.
Saya baru merasakan indahnya tersenyum lagi. Saya jatuh cinta lagi.
Hati yang patah itu hanya patah beberapa saat, sekarang dia bertumbuh lagi menebarkan cinta yang baru, pada cinta yang baru juga. Tapi apa? Barisan air mata itu jatuh lagi, berbaris dari mata membasahi pipi.
Apa yang anda lakukan ketika orang yang membuat anda “kecintaan’ lantas membuat anda menangis? Dan lagi, ini urusan “hamil-hamilan”. Walaupun terjadi sebelum dia bersama saya, tapi ini sama menyakitkannya, bahkan lebih menyakitkan.
Satu persatu gugusan sayap patah lagi diiringi derai sungai air mata yang berjatuhan, saat mantan kekasihnya berbicara pada saya, kalau dia, pria ini, pria yang membuat saya kecintaan ini menghamili seseorang.
Lantas batin ini berteriak, dan bertanya padaNYA yang menciptakan semua ini, “mengapa saya (lagi)? Apa tidak ada perempuan yang lebih kuat daripada saya untuk merasakan hal ini?”. Tapi saya enggan meninggalkannya. Begitupun dia, enggan meninggalkan saya, namun tetap bertanggung jawab pada perbuatannya kepada si perempuan itu. Bukan dengan menikahinya, tapi dengan perhatian-perhatian kecilnya.
Saya cemburu, cemburu setengah mati. Dan lagi, saya merasa sendirian. Tanpa sahabat, tanpa siapapun yang ingin mendengar tangisan saya.
Sampai akhirnya, tibalah kami dalam suatu percakapan. Pertanyaan ini pun muncul dari mulut saya. “siapa yang akan kamu pilih jika harus memilih? Saya kah? Atau anak itu?”
Anda pasti tahu jawabannya, tidak ada ayah yang akan meninggalkan anaknya. Bodohnya, barisan airmata itu jatuh lagi. Hati ini sakit, tapi saya bertahan. Tanpa mengerti kenapa dan apa yang saya pertahankan.
Saya tidak pernah tahu berapa lama lagi perasaan sakit ini akan saya rasakan. Saya tidak pernah tahu, dia tidak pernah tahu, anda juga tidak pernah tahu. Saya yakin rasa sakit ini akan hilang. Entah kapan, atau bagaimana caranya.
Diiringi derai air mata, ini sekelumit kisah saya. Kisah saya yang sedang berebutan kasih sayang dan perhatian dengan seorang bayi yang ada didalam rahim ibunya, berjuang untuk hidup. Pantaskah saya jadi pemenangnya? Sebegini jahatnya kah saya? Atau saya harus menginggalkannya, lalu menangis lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H