Rani adalah seorang anak perempuan yang terlahir dengan kondisi cerebral palsy. Dari kecil, ia sering melihat teman-temannya berlarian dan bermain dengan bebas, sesuatu yang tidak bisa ia lakukan dengan mudah. Setiap langkah yang diambil Rani terasa berat, seperti ada beban yang tak terlihat mengikat kakinya. Namun, Rani bukanlah tipe yang mudah menyerah.
Sejak hari pertama masuk sekolah, Rani sudah bertekad untuk tidak membiarkan kondisinya menghalangi mimpinya. Ia ingin menjadi seorang penulis, dan impian itu tumbuh setiap kali ia mendengar cerita dari guru-gurunya atau membaca buku-buku di perpustakaan. Tulisan-tulisan di buku itu seperti dunia lain yang membuka matanya tentang apa yang bisa ia capai.
Namun, perjalanan Rani tidaklah mudah. Di sekolah, ia kerap merasa tertinggal. Teman-temannya bisa menulis lebih cepat, sementara jari-jari Rani sulit digerakkan untuk menuliskan huruf-huruf. Tapi Rani memiliki sesuatu yang lebih kuat dari kesulitan fisiknya: semangat. Setiap hari, ia melatih tangannya, satu huruf demi satu huruf, hingga akhirnya ia mampu menulis kalimat-kalimat pendek.
"Rani, kamu bisa ikut lomba menulis, loh," ujar Bu Nita, gurunya, suatu hari.
Mendengar itu, Rani sempat ragu. "Tapi, Bu... aku lambat menulis. Bagaimana bisa aku bersaing dengan mereka?"
Bu Nita tersenyum. "Menulis bukan soal seberapa cepat tanganmu bergerak, tapi seberapa besar hatimu dalam menyampaikan pesan."
Mendengar kata-kata gurunya, semangat Rani kembali menyala. Dengan tekun, ia mulai menulis cerita pendeknya, menceritakan tentang seekor burung kecil yang terus berusaha terbang meskipun sayapnya terluka. Cerita itu adalah cerminan dirinya---tentang bagaimana ia, meski memiliki keterbatasan, tetap berjuang untuk terbang menuju impiannya.
Waktu lomba semakin dekat, dan meski tangannya sering lelah, Rani terus menulis. Ketika hari pengumuman tiba, Rani tidak berharap banyak. Baginya, proses menulis itu sendiri sudah menjadi kemenangan tersendiri.
Namun, siapa sangka, namanya dipanggil sebagai salah satu pemenang. Ia tak percaya. Tangannya gemetar saat menerima penghargaan, tapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan. Itu adalah kemenangan yang tak hanya mengubah pandangan orang lain terhadapnya, tapi juga dirinya sendiri. Rani menyadari, meski ia mungkin memiliki keterbatasan fisik, tak ada yang bisa menghentikan mimpinya selama ia terus berusaha.
Dari hari itu, Rani bertekad untuk terus menulis, melangkah sedikit demi sedikit menuju kesuksesan. Karena ia tahu, langkah kecilnya adalah awal dari perjalanan besar menuju impian yang ia yakini akan tercapai suatu hari nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H