"suara rakyat adalah suara Tuhan" serunya di suatu surau....Tuhan yang mana?
Tuhan yang lama atau Tuhan yang sekarang. Orang-orang menanyakan demikian.
Dalam setiap tindakan dan kehendak ada pikiran yang mengatur, Â ide ide yang beragam di pasar masyarakat membombardir telinga dan otak mereka.
Rasa muak terhadap selera membuatnya kaku dan gagu terhadap realitas semuanya dianggap ilusi.
Selera yang agamis maupun non agamis, semuanya terlihat semu dan ilusi belaka.
Hanya selera kampungan yang menyenangkan, begitulah kata mereka.
Mereka diihianati oleh keadaan, diapit oleh kekecewaan, didandani dengan lumpur yang berminyak sehingga kekeringan tidak tampak pada mereka.
Mereka hanya ingin tenang, tak terjamah biarlah yang semesta yang menjamahnya bukan dari tangan-tangan yang bergaris sama, bukan dari suara yang bernada semu , dan juga bukan dari mata yang suram.
Ada telinga yang berlubang tapi tidak mendengar, dan ada mata yang terbuka tapi tidak melihat.
ini hanya tergantung apa yang hanya ingin di dengar dan apa yang hanya ingin dilihat bagi mereka yang ingin didengar dan lihat dan bagi kita yang ingin mendengar dan melihat, apakah juga merasa demikian yang hanya ingin melihat dan mendengar? jika memang benar, akuilah selera kampunganmu, biarlah itu yang diamini.
Kau yang ingin selalu dilihat dan didengar janjilah pada dirimu sendiri karena janji pada orang lain adalah janji yang selalu dilalaikan.
Janjilah untuk tidak menggali pada tanah yang basah dan tidak berlumpur ditanah yang kering karena kau hanya akan terlihat kusam dan kering dimata mereka yang melihat dan mendengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H