Mohon tunggu...
martina safitry
martina safitry Mohon Tunggu... -

menyukai sejarah, masak, traveling, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebentuk Kesunyian di Makam Sang Maestro Seniman

29 April 2011   11:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:15 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kesan sunyi selalu saya rasakan ketika memasuki komplek pemakaman, tidak terkecuali kompleks pemakaman yang berlokasi di dekat Jl. Pahlawan, Bogor. Dengan memasuki sebuah gang sempit yang dikawal oleh tembok-tembok ruko dan rumah, sampailah saya di Makam Raden Saleh. Kesunyian langsung menyergap saya ketika memasuki komples pemakaman ini. Bukan lantaran bertemu hantu tetapi karena keterkejutan saya melihat sangat sedikitnya peziarah yang datang. Padahal hari itu (23/4) tepat 131 tahun kematian Raden Saleh, sang maestro seni lukis Indonesia. Bagaimana mungkin seorang bangsawan, seniman dan ilmuwan yang namanya begitu tersohor di dunia hanya berteman sunyi di hari peringatan kematiannya.

Raden Saleh dilahirkan di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah. Ia lahir sekitar 1814 namun ada versi lain menyebutkan tahun 1811.Ayahnya bernama Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama Mas Ajeng Zarip Husen.Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabehi Kertoboso Bustam (1681–1759), seorang Asisten Residen Terboyo. Kertoboso Bustaman dianggap berjasa karena membantu VOC melawan memberontakan orang-orang Tionghoa yang dibantu oleh Sultan Agung. Pemberontakan ini merupakan buntut dari pembantaian Tionghoa di Batavia pada 1740.

Bakat Raden Saleh mulai tercium oleh Antonie Auguste Joseph Paijen (1792–1853), seorang pelukis berkebangsaan Belgia, ketika berkunjung ke rumah Raden Saleh.Ia membawa sang bocah ke Cianjur yang pada saat itu merupakan ibukota Karesidenan Priangan.Kejadian ini diperkirakan terjadi pada 1822. Prof. Harsja Bachtiar menyinggung tujuan Paijen adalah untuk menarik dukungan keluarga Pribumi.Ia tinggal di Bogor dan bertugas sebagai pelukis seni pemerintah bagi Prof. C.G.C. Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur Departemen Pertanian, Seni dan Ilmu. Reinwardt sendiri adalah pendiri Kebun Raya Botani Bogor.Paijenlah yang mengajarkan cara menggambar dan melukis kepada Raden Saleh muda.

Pertemuan Raden Saleh dengan negeri Belanda terjadi tahun 1829. Ketika itu ia ikut bersama Jean Baptiste de Linge dan keluarganya ke Belanda dengan menumpang Kapal Pieter en Karel. Di Den Haag, Raden Saleh mengikuti pelajaran menggambar dibawah asuhan Cornelis Kruseman. Pada 1839 ia mendapat kesempatan untuk melakukan study tour ke sejumlah negara di Eropa, seperti Jerman, Austria, Italia dan Prancis. Raden Saleh memiliki sebuah attelier (studio) sendiri. Studio ini berlokasi di Alle de Veuves No. 31, sebuah jalan yang dimulai di seberang Elysee Bourbon di Champs Elysees, tidak jauh dari Arc de Triomph, Prancis.

Raja Belanda dikenal sebagai pecinta seni kelas tinggi, Raden Saleh mempersembahkan sebuah lukisan kepadanya. Lukisan itu menggambarkan pertarungan antara dua ekor singa melawan seekor banteng. Lukisan Raden Saleh ternyata membuat sang raja sangat terkesan. Raja William II menganugerahkan gelar kebangsawanan untuknya, yaitu Ksatria Orde Tahta Pohon Oak (Knighthood of the Order of the Oaken Crown–Eikenkroon). Penganugerahan itu terjadi pada 20 Desember 1844.Orde ini sudah didirikan sang raja selama tiga tahun dalam kapasitasnya sebagai Grand Duke Luxemburg. Tujuannya adalah memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berjasa di bidang sipil dan militer dan bagi seniman-seniman hebat.

Tak mau kalah dengan pendahulunya, Raja William III juga memberinya gelar resmi sebagai “Pelukis Sang Raja.” Pemberian gelar ini mungkin tidak hanya dilakukan sebagai pengakuan pencapaian luar biasanya sebagai seorang pelukis, tetapi juga untuk membantu memfasilitasi reintegrasi sang pelukis di tanah airnya. Setelah 29 tahun tinggal di Eropa, akhir 1851 Raden Saleh kembali ke Batavia. Sekembalinya ke tanah air, Raden Saleh berusaha memperbaiki kembali hubungannya–yang sebagian sudah ada dalam bentuk hubungan darah–dengan para bangsawan pribumi. Ia banyak berkunjung ke kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa terutama Jawa Barat.

Raden Saleh bisa dikatakan berperan besar dalam penelusuran historiografi Jawa Barat. Salahsatu prasasti yang ditemukan Raden Saleh adalah Manuskrip Kebantenan (deket Cikunir sekarang). Adalah KF Holle yang meneliti manuskrip dan prasasti temuan Raden Saleh. Manuskrip ini terbuat dr 5 lembar tembaga. Selain Manuskrip Kebantenan, ditemukan juga naskah Sanghyang Siksa Kanda(ng) karesyan dan Sang Sewaka darma (berangka tahun Masehi 1519, kurang lebih 3 tahun sebelum perjanjian Kerajaan Padjadjaran dengan Portugis). Naskah tersebut berisi doktrin Raja Padjadjan kepada rakyatnya (C.M. Pleyte, 1906).

Dewan Bataviasche Genootschap mengumumkan bahwa Raden Saleh telah menghadiahkan 150 buah benda-benda arkeologi. Dewan ini menyelenggarakan pertemuan khusus pada Selasa, 26 Juni 1866, di ruang konferensi Natuurkundig Vereeniging in Nederlandsch Indie. Tujuan pertemuan itu adalah mengungkapkan rasa terimakasih Bataviasche Genootschap yang mendalam pada Raden Saleh dan menganugahinya status Anggota Kehormatan. Raden Saleh adalah orang Pribumi pertama yang mendapat kehormatan ini.

Pada 8 Februari 1855, Pangeran Dipanagara wafat di pengasingannya, di Makasar, Sulawesi Selatan. Wafatnya Pangeran Dipanagara menginspirasikan Raden Saleh untuk membuat sebuah lukisan tentang kejadian ini. Lukisan tersebut disebutnya “a historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”, menggambarkan penangkapan Dipanagara di Magelang pada 28 Maret 1830 dan telah lama diakui sebagai sebuah masterpiece. Karya itu dibuat pada 1857 setelah Raden Saleh kembali ke Jawa dan kemudian dipersembahkan kepada Raja Belanda, William III, sebagai tanda terimakasih atas pendidikan dan pelatihan sebagai pelukis yang diterimanya selama hampir 23 tahun (1829–1851) di Eropa.

Raden Saleh pernah tinggal di Yogyakarta selama dua tahun. Di sanalah Raden Saleh bertemu dengan gadis muda yang cantik bernama R.A. Danudiredjo. Ia merupakan saudara sepupu sultan. Pasangan ini pindah ke Jawa Barat akhir 1868, mereka tidak tinggal di kediaman Raden Saleh yang seperti istana di Cikini. Mereka tinggal di kota pegunungan Bogor, tempat yang juga menjadi kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan para pejabatnya. Rumah tinggalnya di Bogor adalah bekas kediaman Sultan Tamjidillah dari Banjarmasin. Lokasi rumah ini ada di belakang Hotel Bellevue (sekarang Ramayana). Pemandangan tepat ke arah Gunung Salak yang menawan. Dari situ dapat dinikmati pula pemandangan ke arah Lembah Cisadane yang begitu menarik dengan sungainya yang berkelok-kelok, hamparan persawahan dan kebun-kebun buah.

Pada tahun 1869, sebuah pemberontakan penduduk pribumi yang cukup besar pecah di daerah Tambun, Bekasi. Raden Saleh dianggap terlibat dalam pemberontakan ini. Oleh karena tuduhan itu, kediamannya di Bogor dikepung oleh 50 orang tentara. Pengepungan itu dilakukan karena ia dicurigai menyembunyikan sejumlah pemberontak di kediamannya, namun, tidak ditemukan bukti keterlibatan Raden Saleh. Dalam rumahnya hanya terdapat isteri sang pelukis yang masih muda, keponakan perempuan sang pelukis dan beberapa pelayan wanita.

Pada awal April 1880, Raden Saleh mencari lokasi pemakaman untuk isterinya yang sedang sakit parah. Hidup pendamping yang sangat dicintainya itu tidak akan lama lagi. Dokter yang merawat isterinya menyarankan Raden Saleh menyiapkan tempat peristirahatan terakhir yang layak. Raden Saleh membeli sebidang tanah yang letaknya tidak jauh dari kediaman mereka dan menurutnya dapat menjadi tempat pemakaman yang layak. Rupanya lokasi yang direncanakan sebagai rumah terakhir untuk isterinya, dihuni lebih dulu oleh Raden Saleh. Pada 23 April 1880 Raden Saleh wafat. Menurut catatan Prof. Harsja Bachtiar, Raden Saleh meninggal akibat serangan trombosit namun diduga kuat Raden Saleh meninggal karena diracun oleh pembantunya. Hal ini mungkin terkait dengan kekhawatiran Belanda terhadap pengaruh Raden Saleh di kalangan Pribumi. Prosesi pemakaman baru dilaksanakan pada Senin pagi, 26 April 1880. Dari kediamannya jenazah Raden Saleh diusung ke peristirahatan terakhir di tempat yang dipilihnya sendiri. Makam yang semula direncanakan untuk makam isterinya. Hidup Raden Saleh ditutup dengan iringan begitu banyak pelayat yang mengantar kepergiannya. Konon jumlah pelayatnya mencapai 2.000 orang yang berasal dari berbagai kalangan. Kontras dengan hal itu, tepat 131 tahun kemudian tidak ada tabur bunga dan lantunan doa dari sanak keluarga, para pengagumnya, apalagi dari aparat negara yang menerima royalti dari hasil lukisannya. Siang itu hanya enam orang saja yang menundukkan kepala sambil berdoa dan menabur bunga ala kadarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun