Mohon tunggu...
Martin Rambe
Martin Rambe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup hanya sementara. Menghabiskan setiap detik dengan baik, menggunakannya untuk hak-hal yang positif, dan tidak pernah lupa untuk bersyukur: itulah yang selalu aku cita-citakan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berkunjung ke Pasar Kelamin “AWW!!!”

6 April 2014   20:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berkunjung ke Pasar Kelamin “AWW!!!”

Seperti biasa, setiap malam minggu, kantor sebutan untuk “rental komputer tempat saya bekerja” tutup lebih cepat dari malam biasa. Biasanya kantor tutup pukul 22.30 WIB, untuk malam minggu paling lama sudah tutup pukul 20.00 WIB, kecuali ada proyek yang dikejar deadline. Dan malam ini kami tutup sedikit lebih cepat, pukul 19.00 WIB. Sebelum tutup, seorang teman kerja, Andre mengajak untuk menghabiskan malam minggu ini di bioskop, ada film komedi baru, “The Accident Caleg”. Kami termasuk generasi bangsa yang diharap-harapkan, kuliah sambil bekerja banyak memberi kami nilai-nilai positif selain dapat gaji setiap tanggal 1. Heheh... Kesibukan kuliah dan bekerja membuat kami jarang menikmati masa-masa muda seperti yang lain, maka ajakan Andre kali ini membuat euforia muda kami melonjak, dan kami berteriak “Setuju!!!”

Setelah kantor tutup, aku, andre, Liskar, dan Herman pun langsung gerak menuju sebuah Plaza di Medan, tetaptnya di lantai 4. Namun sial, kami tiba disana tepat jam 20.30, sementara pemutaran film “Caleg By Accident” mulai jam 20.15 WIB. Kami terlambat 15 menit, sementara antrian pembelian karcis sangat panjang. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak jadi nonton, dan menggantinya dengan mondar mandir di plaza tersebut.

Plaza memang indah, penuh dengan glamornya dunia, gemerlapnya kedipan lampu-lampu mini, dan mewahnya hasil karya manusia. Sejauh mata memandang sekian panjang tali penarik untuk semua yang terlihat, tetapi sial, isi kantong adalah kunci utama untuk memenuhi tarikan tali tersebut. Maka, melawan gerakan si tali adalah yang terbaik, meski sejujurnya ini pertarungan antara kebutuhan dan keinginan pribadi. Logika harus difungsikan!

Berjalan mengelilingi semua produk bermerk itu ternyata telah menciptakan pertarungan baru dalam tubuh, antara mata yang ingin terus membelalak dengan kaki yang minta digoyang-goyangkan manis. Yah, tampaknya kaki lebih berkuasa, hingga akhirnya kami memutuskan untuk sejenak mengistirahatkan kaki ini. Kami keluar plaza dan duduk di koridornya.

Namanya darah muda yang menjomblo, percakapan tentang apa pun bisa terjadi di kala berkumpul seperti ini. Andre yang tampaknya sudah sangat berpengalaman soal dunia malam bercerita bahwa dekat dengan plaza tersebut banyak tempat para pejual diri, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Menurut ceritanya, ada sebuah gedung terdekat dengan plaza, itu seperti kos-kosan, kalau masuk ke dalam harus bayar Rp 5000,-. Di dalam banyak kamar dan berisi perempuan, kalau mau “main” (kasar banget sih) tinggal tawar aja. Terus kalau yang diluar ruangan, atau di alam bebas, mereka nagkring di pinggir jalan, dan mencoba menarik perhatian para si hidung belang untuk melakukan tawar menawar hingga berakhir pada sebuah ranjang. Cerita seperti ini bagi saya sesungguhnya bukan cerita biasa, bahkan sudah basi. Tapi, faktanya saya memang belum pernah tahu. Oleh karena itu, atas dasar rasa penasaran saya mengajak mereka ke tempat itu. Dan, semua setuju! (Hanya pengen tahu aja lho, bukan yang lain-lain).

Akhirnya, kaki kami pun bergerak melangkah menuju bangunan yang tampak seperti kos-kosan sesuai cerita Andre ini.

Waw!!! Sangat banyak motor terparkir di depan gedung itu dan ada beberapa orang tampak seperti penjaga. Terus Andre meminta agar kami semua bersikap biasa saja, jangan sampai menunjukkan sikap yang mencurigakan. OK! Kita pun berjalan sok dewasa! Memang kita sudah dewasa kan? J

Lalu Andre meminta duit Rp 5000,- dari kami bertiga untuk dibayarkan kepada penjaga di depan pintu gedung tersebut. Lagi-lagi sial! Si tukang parkir di depan gedung mencurigai kami. Sepertinya wajah poloskami benar-benar ketara. “Deq, ini tempat dewasa, ada KTP kalian”

“Akh, uda dewasa kok bang, udah umur 20 an kami semua” sahut Andre mencoba bersahabat. Di antara kami, memang badan yang Andre paling tinggi, dan tampak besar, sehingga bisa saja aku, Liskar, dan Herman dianggap kurcaci yang sedang mengekor Andre. Jahat banget ya. Yah, memang konstruksi sosial telah menjadikannya demikian, padahal belum tentu badan tinggi itu lebih dewasa dari yang badannya pendek. Buktinya kami bertiga secara umur lebih tua dari Andre.

“ada KTP tidak?” lanjut si tukang parkir

“ya ada lah bang!” jawabku ceplos

“kalian berdua ada gak? Kalian kembar?” tanyanya sama Liskar dan Herman yang kebetulan memakai kaos warna sama

“ada bang” jawab mereka.

Akhirnya kami pun masuk ke dalam. Di ruang depan, ada dua orang penjaga di bawah pintu menuju lantai 2, dan kepada merekalah Andre memberikan uang yang kami kumpulkan tadi. Lalu kami menaiki tangga menuju lantai 2.

"AWW!!!" Alangkah terkejutnya aku. Apa yang diceritakan Andre sebelumnya benar-benar ada, nyata, dan ini fakta. Bahkan apa yang aku dengar jauh sebelum Andre menceritakan hal ini, baru kali ini aku menyatakan diriku 100% bahwa itu memang benar. Benar, benar, dan mereka memang benar ada!

Tempat ini memang seperti kos-kosan. Berlorong-lorong, terdapat banyak kamar berjejer dan berhadap-hadapan. Ukuran kamar sekitar 3x3 m. Ada kamar yang dilengkapi fasilitas lumayan memadai, seperti TV, kipas, spring bed tebal, dan hiasan-hiasan dinding, tetapi ada juga yang seadanya bahkan ukurannya sangat sempit. Setiap kamar ada perempuan. Perempuan yang belum dapat tawaran yang cocok, tampak membuka pintu kamar lebar-lebar bahkan mereka berdiri di depan pintu menarik perhatian para pengunjung. Sedangkan mereka yang sudah mendapat tawaran yang cocok, pintu kamar ditutup rapat-rapat.

Karena memang kami tidak punya maksud untuk berbuat macam-macam, bahwa keberadaan kami disini tidak lebih dari hasrat untuk menjawab rasa penasaran yang selama bertahun-tahun menunggu jawaban, maka kami hanya berjalan melewati semua lorong, dari lantai 2 hingga lantai 3.

Saya memperhatikan tingkah laku para perempuan itu, benar-benar sangat mengharukan. Mereka menebar senyum yang termanis mereka miliki yang belum tentu senyum semanis itu pernah diberikan untuk keluarga mereka, mereka berusaha memiliki raut wajah sempurna meski mungkin hati mereka terobek, mereka sangat ramah, dan pandangan, penampilan, serta gerakan mereka mengajak para pengujung untuk memasuki kamar yang mereka huni.

Berkali-kali saya mendecap, “Ya Tuhan”.

Saya perhatikan, beberapa diantara mereka sudah berusia 30 tahunan, bahkan ada yang sudah tampak tua. Ketika kami lewat para perempuan itu berusaha mengajak kami untuk melangkahkan kaki ini ke dalam ruangan 3x3 m itu.

“kalian pake tas dek, mau les kan? sini les sama ibu!”

“baru pulang kampus yang deq, sini kakak kusut!”

“ayo belajar sama ibu yok!”

“ayok, masuk, seribu saja!”

Banyak lagi ajakan-ajakan maut mereka. Dari kata-kata mereka, tampak beberapa diantara mereka memang merasa sudah tua, atau kami yang terlalu muda? J

Kami memang memakai tas masuk ke dalam gedung itu, namanya pulang kantor langsung kesana, jadi mereka kira kami mau les, mau belajar, atau apa lah yang berhubungan dengan tas.

Tetapi, bukan hanya mereka yang menjajakan diri yang membuat saya prihatin, tetapi juga para pengunjung. Ternyata para pengunjung tempat itu saya perhatian banyak anak muda, usia sekolah atau kuliah. Itu sangat menyedihkan. Bagaimana masa depan bangsa ini jika mereka adalah para konsumen wanita-wanita malam itu? Saya melihat ada beberapa yang memang serius menawar, tetapi ada juga yang hanya lewat lorong-lorong itu. Dalam hatiku “apakah mereka belum menemukan paras yang cocok untuk ditawar? Atau mereka juga sama seperti kami hanya ingin menjawab rasa penasaran?”

Saat berjalan, terdengar jelas ada tawar menawar antara seorang pemuda dengan salah satu wanita malam itu.

“berapa?” tanya pemuda yang tampak berusia 26 tahunan

“lima puluh ribu saja bang!”

“akh mahal kali”

“yaudah sekali makan saja, gimana? Yuk sini bang!”

Mendengar percakapan itu, “Ya Tuhan” lagi-lagi aku mendecak sedih...

Setelah merasa telah melewati semua lorong, kami pun memutuskan untuk keluar.

Di luar kami duduk sejenak di pinggiran jalan, bercerita satu sama lain tentang pengalaman beberapa menit selama di gedung itu. Lama-kelamaan, cerita pun menjurus pada tempat di alam bebas, atau tidak dalam ruangan. Lagi-lagi, rasa penasaran pun terus bergejolak untuk dipuaskan. Akhirnya kami pun melangkah menuju tempat yang diceritakan Andre. Tidak jauh, hanya sekitar 10 menit dengan berjalan kaki, kami sudah tiba di tempat itu.

Alangkah lagi-lagi aku terkejut. Ini lebih parah. Aku perhatikan usia mereka sekitar belasan tahun, usia sekolah. “Ya Tuhan” Apa yang mereka lakukan ini.

Kami terus berjalan, kami memilih berjalan di trotoar sebrang mereka yang menjajakan diri. Setelah beberapa lama, kami memilih duduk sejenak. Semakin aku perhatikan semakin hati ini merintih sedih, aku malah ingin menangis. Akh, apakah aku normal? Bukankah seharusnya aku birahi? Yang pasti ini bukan sebuah indikator untuk mengukur normal atau tidaknya aku. Sudah pasti aku normal, aku menyukai lawan jenis, bukan sesama jenis. Itu fakta! Ini bukan masalah normal atau tidak tapi ini keprihatinan terhadap negeri dan kepercayaan!

Saya perhatikan, mereka memiliki becak masing-masing, tentu lengkap dengan pengendaranya. Menurut cerita Andre, si tukang becak itu seperti germo yang mengantar mereka ke ranjang yang disepakati dengan calon konsumen. Sekaligus mereka adalah penjaga para kupu-kupu malam itu untuk bos besarnya. Benarkah?

Yang membuat kasihan, saya perhatikan mereka selalu membuka senyum lebar pada setiap kendaraan yang lewat, baik motor, mobil, ataupun becak. Mereka berdandan sangat cantik, apalagi usia mereka yang tampak masih muda, mereka benar-benar tampak seperti bidadari. Tetapi ternyata tidak mudah mendapatkan konsumen, meski sudah berdandan cantik, membuat tolehan dan gerakan mengajak pada setiap pengendara yang lewat, hingga kami meninggalkan tempat itu belum ada satupun diantara mereka yang tampak senang karena mendapat konsumen.

Sebelum pulang, saya melihat ada dua orang mengendarai motor mencoba melakukan tawar menawar dengan seorang diantara mereka. Tetapi saya perhatikan mereka sebenarnya hanya main-main. Tidak jelas apa yang mereka percakapkan, tetapi akhirnya kedua laki-laki itu meninggalkan perempuan itu? Apakah terlalu mahal? Atau sebenarnya hanya main-main? Bukankah itu sangat menyedihkan?

Waktu menunjukkan pukul 22.40 WIB, kami memutuskan untuk pulang, karena kosanku tutup pukul 23.00 WIB. Sengaja aku dan Andre memilih berjalan di trotoar tempat para wanita itu menjajakan dirinya, kami ingin mencoba menawar salah satu dari mereka. Kami pun mendekati seorang dari mereka “berapa mbak” tanya Andre.

“seratus lima pulih ribu mas”

“ooh, itu “main” dimana?”

“di hotel XXX”

“hm,, bentar ya mbak, saya mau antar teman dulu” lanjut Andre pura-pura

Kami pun berjalan terus hingga jalan besar untuk menyetop angkot.

Akhirnya kami pun pulang. Awalnya aku berpikir akan pulang dengan rasa penasaran yang telah terpuaskan, eh malah pertanyaan-pertanyaan semakin banyak bermunculan.

Kenapa mereka melakukan itu? Adakah keluarga mereka? Bagaimana kehidupan keluarga mereka? Apakah mereka bersekolah? Terus si tukang becak itu siapa mereka? Terus apa sebenarnya yang mereka jual? Apakah pemberian Tuhan itu yang mereka jual? Betapa hinanya pekerjaan seperti itu? Apakah alat reproduksi yang Tuhan hadiahkan itu untuk dijajakan kepada siapa saja? Bukankah seharusnya itu dijaga sebaik mungkin? Kenapa?

Atau aku yang terlalu polos????

Tapi aku akui, akhirnya dengan perjalanan malam ini, minimal aku menyatakan pada rasa penasaranku bahwa ITU MEMANG ADA, NYATA, DAN ITU FAKTA!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun