Mohon tunggu...
Martin Rambe
Martin Rambe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup hanya sementara. Menghabiskan setiap detik dengan baik, menggunakannya untuk hak-hal yang positif, dan tidak pernah lupa untuk bersyukur: itulah yang selalu aku cita-citakan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku, Ahok dan Indonesia

1 Oktober 2014   14:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:49 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKU, AHOK DAN INDONESIA

#PERCAKAPAN IMAJINER

“Tidak nyangka akhirnya bisa ketemu bapak. Sebenarnya, sebelumnya kita sudah pernah dua kali bertemu lo pak”

“Oh ya? Dimana?”

“Bapak kan orang sibuk dan menghadiri banyak acara dalam satu hari, jadi aku akan sangat bersyukur kalau bapak ingat dua peristiwa yang paling mengesankan sejauh ini dalam hidupku. Pertama kita bertemu di akhir Oktober 2013 pak, di sebuah acara Grand Final Menjadi Indonesia yang diselenggarakan Tempo Institute. Dan pertemuan kedua di acara Indonesian Culture and Nationalism di Universitas Prasetya Mulia bulan Mei 2014 kemarin...”

“Oh ya, ingat-ingat! Masih sangat ingat dong. Itu kan kampusku Universitas Prasteya Mulia. Oh jadi kamu mewakili provinsi Sumatera Utara waktu itu?”

“Iya benar pak”

“Oohh, bagus-bagus. Tapi yah, maklum lah saya waktu itu kan buru-buru, kamu juga pasti masih ingat. Saya aja gak sempat duduk waktu itu. Jadi kita gak sempat sapa-menyapa waktu itu kan. Tapi kita sempat foto kan?”

14121251231792339567
14121251231792339567

“Hehe, iya sempat dong pak. Saya juga menyalam bapak waktu itu, bapak mungkin tidak tahu karena begitu banyak fans bapak yang mau bersalaman. Dengan bersalaman sama bapak siapa tahu bisa seperti bapak, hehe...”

“Harus tetap jadi diri sendiri. Oh ya, tadi pertemuan pertama yang dari Tempo Institute ya? Itu yang menulis essay kan?Aaah, masih ingat dong. Kan waktu itu aku juga membacakan tulisanku disitu, yang ada di buku Surat Dari Dan Untuk Pemimpin kan?”

“Ha, trimakasih Tuhan. Huh... ternyata bapak masih ingat, itu persitiwa sangat penting dalam hidupku sejauh ini pak, dan pertemukan kita ini bakal peristiwa penting yang ketiga”

“Oh, jadi kamu juga ada waktu itu disana ya? Dari Medan?”

“Iya benar sekali pak. Kalau bapak tidak percaya ini aku ada foto kita berdua yang udah aku crop pak hehe...”

14121251941503595315
14121251941503595315
“Oh, mantap-mantap. Wah, senang dong bertemu dengan fans”

“Fans? Ok. Aku nge-fans sama bapak, itu benar...

Jadi, bapak sudah mengenal aku bukan? Jadi boleh kita mulai berbincang pak?”

“Oh pasti, dari tadi juga kita sudah berbincang bukan? Hahah..”

“Baik pak! Pak Ahok, banyak yang kagum sama bapak, itu terbukti dengan bapak bisa melenggang menjadi wakil Gubernur DKI, bahkan bakalan menjadi Gubernur. Tetapi tidak bisa dipungkiri, banyak juga yang menghujat bapak. Gimana perasaan bapak sekarang?”

“Saya baik-baik saja. Like dan dislike itu biasa. Saya yakin tidak ada masalah dengan siapa pun, kecuali mereka yang tidak mengerti kemanusiaan Indonesia dan tidak menyukai pemerataan. Saya tidak takut sedikit pun, saya yakin di luar sana banyak yang mendukung kebijakan-kebijakan saya, karena saya yakin lebih banyak orang yang pro rakyat daripada mereka yang haus keserakahan”

“Sebentar lagi kan bapak akan menjadi gubernur DKI jakarta, dan ada golongan tertentu yang menolak bapak, dengar-dengar karena isu SARA, bagaimana perasaan bapak sebagai bangsa Indonesia? Kan bapak juga warga negara Indonesia yang berkewajiban melunasi janji kemerdekaan?”

“Sebagai bangsa Indonesia tentunya saya sedih. Kita ini kan bangsa Indonesia, menjunjung tinggi keadialan, kita bangsa yang beradab. Kita bangsa yang kaya raya, budaya, bahasa, kita sangat majemuk. Itu yang saya bilang mereka tidak mengerti arti kemanusiaan Indonesia”

“Menurut bapak sendiri, masih relevankah saat ini menolak seseorang yang akan membawa suatu perubahan bagi suatu negera hanya dengan alasan SARA?”

“Sudah pasti tidak! Kalau kita benar-benar mau maju, kita harus mengakui dan mendukung siapa saja yang mampu membawa kemajuan untuk negeri ini. Siapa saja! Lagian, sebetulnya bukan hanya karena motivasi negara maju, tetapi perlakuan yang adil sebagai umat manusia itu wajib. Tidak ada agama yang mengajarkan diskriminasi, dan itu merupakan hakekat seutuhnya manusia. Siapa saja bebas berekspresi sesuai aturan yang ada, itu juga dijamin dalam undang-undang. Makanya saya juga tidak takut ditolak karena isu SARA, kan ada undang-undangnya, saya bila laporkan mereka! Lihat aja itu Amerika, Obama bisa jadi presiden dua periode!”

“Melihat Indonesia saat ini pak, dimana masih ada golongan-golongan tertentu yang bapak bilang tidak mengerti kemanusiaan Indonesia, menurut bapak, langkah konkret apa yang bisa diambil pemuda untuk turut memperjuangkan visi para pendiri negeri ini?”

“Politik! Ya politik, mau tidak mau anak muda harus terjun ke dunia politik. Tapi bukan anak muda sembarangan, melainkan anak muda yang berhati nurani, yang berani mempertahankan hati nuraninya, berapa pun harganya!”

“Tapi pak citra politik di negara kita ini kan begitu buruknya, saya yakin banyak anak muda yang lebih memilih berwirausaha daripada berpolitik”

“Ya, memang buruk. Tapi apakah kita menjadi seorang wirausahawan yang senang menyaksikan ketidakadilan? Hak rakyat kecil dirampas penguasa? Saya juga dulunya seorang pengusaha, tapi saya mau terjun ke dunia politik. Karena apa? Karena politik merupakan pilar utama perubahan. Kebanyakan kita kan mengomel di luar, tapi tidak mau masuk ke dalam. Semua kebijakan itu kan dihasilkan melalui proses politik, kalau kita biarkan hanya mereka yang berada dalam lingkar politik itu, bagaimana mungkin kebijakan yang dihasilkan pro rakyat? Oleh karena itu, saya himbau, bagi anak-anak muda jangan menghindar dari politik. Ayo satu per satu masuki dunia politik, pertaruhkan nuranimu, semakin banyak yang mau mempertaruhkan nuraninya di politik, saya yakin mimpi tentang Indonesia yang ada dalam visi para pendiri negara ini akan menjadi kenyataan. Itu kewajiban kita sebagai pewaris kemerdekaan”

“Jadi, dapat saya simpulkan bapak akan terus hidup dalam lingkaran politik?”

“Ya, Selama saya sanggup! Sampai mimpi Indonesia tercapai.”

“Waw, semangat bapak sangat berapi-api untuk Indonesia, semoga apa yang kita harapkan dan apa yang bapak perjuangkan untuk Indonesia tercapai pak. Tentunya kita memimpikan Indonesia yang sejahtera, merata, adil, beradab, dan mengerti arti kemajemukan.

Terimakasih banyak pak untuk perbincangan yang sangat singkat tapi sangat bermakna ini, semoga bapak tidak keberatan untuk perbincangan berikutnya”

“Terimakasih juga, iya-iya!”

#isi dikutip dari berbagai sumber dan diolah menjadi percakapan langsung#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun