[caption id="attachment_298619" align="aligncenter" width="617" caption="Pemilu Damai di Aceh"][/caption]
Lahirnya MoU Helsinski di Aceh menandai babak baru masa depan Aceh. Suasana konflik berubah menjadi perdamaian. Aceh tetap menjadi bagian dari Indonesia dan mendapatkan banyak kekhususan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Sepertinya segala perhatian akan diberikan oleh Pemerintah Indonesia, asalkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat untuk membubarkan diri dan bersama-sama rakyat Aceh membangun Aceh menjadi lebih makmur.
Setelah beberapa tahun berjalan, MoU Helsinski memang begitu berperan dalam merubah Aceh menjadi daerah damai. Namun perdamaian di Aceh bersifat semu, karena gerakan separatis Aceh Merdeka yang dulu diperjuangkan oleh GAM ternyata tidak pernah hilang dari para pejuang GAM.
Transformasi GAM menjadi Partai Aceh
Harapan kita bersama agar GAM berubah menjadi kekuatan rakyat Aceh untuk membangun daerahnya sesuai MoU Helsinski, hingga saat ini tidak terwujud. Bagi mereka sekali GAM tetaplah GAM. Sebanyak 840 pucuk senjata api milik GAM telah dihancurkan, namun di lapangan masih terus terjadi penembakan oleh GAM. Disinyalir masih terdapat 500 lebih senjata yang disimpan GAM dan tidak pernah dilaporkan. Fakta itu merupakan indikasi awal, bahwa GAM sebenarnya tidaklah sepenuh hati melaksanakan perdamaian di Aceh.
Keinginan untuk memisahkan diri dari Indonesia masih terus disebarkan oleh mantan GAM yang kini duduk dalam Partai Aceh. GAM yang sebelumnya mengedepankan perjuangan melalui perlawanan bersenjata dan diplomasi luar negeri, sekarang berubah menjadi perjuangan politik, khususnya melalui Partai Aceh. Dalam perkembangannya mesin Partai Aceh diperankan sama persis seperti peran GAM.
Pada Pemilu 2009, Partai Aceh sukses merebut 46,91 persen suara. Menurut beberapa pengamat politik, sukses besar Partai Aceh tersebut ditempuh dengan cara-cara yang tidak demokratis, diantaranya dilakukan dengen meneror pemilih. Cara tersebut sudah lumrah dilakukan oleh GAM dalam perjuangannya, mereka tidak segan-segan mengorbankan nyawa masyarakat untuk mencapai tujuannya.
Partai ini digerakkan untuk mencapai kemerdekaan Aceh. Partai Aceh berhasil mendudukkan kadernya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, mengusai hampir separuh anggota DPR Aceh dan DPR Kabupaten/ Kota. Malik Mahmud (mantan Perdana Menteri GAM) diberikan posisi sebagai Wali Nanggroe yang menjalankan peran seperti kepala negara di Aceh. Malik Mahmud mampu mengendalikan Gubernur dan DPR Aceh. Selain itu, Partai Aceh saat ini sedang memperjuangkan agar bendera GAM menjadi bendera Aceh. Langkah ini ditempuh agar semangat perjuangan GAM tetap terjaga dalam diri Partai Aceh.
Teror Partai Aceh untuk Menangkan Pemilu 2014.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, Partai Aceh mulai menjalankan strategi memenangkan Pemilu dengan cara-cara kekerasan. Rentetan teror terus dilancarkan oleh Partai Aceh kepada lawan politiknya maupun kepada rakyat Aceh. Demokrasi di Aceh saat ini benar-benar dalam titik nadir, tertindas oleh kekerasan Partai Aceh.
Kejadian terakhir sungguh tragis, seorang Caleg Partai Nasional Aceh (PNA) diberondong dengan senjata laras panjang. Faisal (35), warga Lhok Pauh Kecamatan Sawang, Aceh Selatan, yang saat ini menjadi Caleg PNA, diberondong peluru di kawasan Gunung Genting Mancang, Desa Ladang Puha kecamatan Moukek, Aceh Selatan, pada 2 Maret 2014 sekitar pukul 21.00 WIB. Memang pelaku penembakan terhadap Faisal belum dapat dibuktikan dilakukan oleh Partai Aceh, namun dari rentetan kekerasan politik yang dialami oleh PNA selama ini, dapat dipastikan pelakunya pasti berasal dari Partai Aceh.
Jum’at, 26 April 2013, Muhammad bin Zainal Abidin (33 tahun) biasa dipanggil Cekgu ditemukan tewas dengan luka tembak di Desa Geulumpang Blang Bereueh, Beureuneun. Pada proses di pengadilan terbukti bahwa pembunuhan tersebut dilatarbelakangi persaingan politik. Munir, salah satu pelaku, mengatakan dirinya membunuh Cekgu atas perintah anggota DPRK Pidie, Tgk Ilyas, karena Cekgu telah menghina petinggi Partai Aceh.
Siasat GAM duduki DPR RI
Sejak terbentuknya Partai Aceh, bisa dikatakan GAM berhasil menguasai eksekutif dan legislatif Aceh. Kekuasaan yang diperoleh GAM tersebut, akan semakin diperluas pada Pemilu 2014 mendatang. GAM melalui Partai Aceh akan mengutus wakil-wakilnya untuk duduk dalam anggota DPR RI.
Secara aturan, Partai Aceh sebagai Partai Lokal tidak memiliki hak untuk ikut serta dalam pemilihan anggota DPR RI. Oleh karena itu, Partai Aceh bersiasat melakukan koalisi dengan Partai Nasional agar Partai Aceh memiliki keterwakilan dalam DPR RI. Partai Aceh telah memutuskan berkoalisi dengan Gerindra. Kader Partai Aceh dititipkan kepada Gerindra untuk menjadi Caleg DPR RI. Salah satunya adalah ISMAIL BERDAN, SH, Caleg dari Gerindra yang mendapatkan dukungan penuh dari Partai Aceh. Tidak tanggung-tanggung, Muzakir Manaf sebagai Ketua Umum Partai Aceh menjadi tim sukses ISMAIL BERDAN, SH. Selain ISMAIL, masih terdapat beberapa kader Partai Aceh yang mencalonkan diri dari Partai Gerindra.
Selain mempersiapkan kader Partai Aceh melalui Gerindra, Partai Aceh juga selama ini menjalin hubungan mutualisme/ saling menguntungkan dengan anggota DPR RI dan DPD RI periode 2009 s.d. 2014 asal Aceh. Diantaranya M. Nasir Djamil (asal PKS), Marzuki Daud (asal Golkar) dan Ahmad Farhan Hamid melalui jalur DPD RI. Untuk duduk sebagai anggota DPR RI dan DPD RI, mereka banyak mendapatkan dukungan dari mantan GAM. Konsekwensinya sudah jelas, anggota DPR RI dan DPD RI tersebut selama ini juga banyak mendukung kebijakan mantan GAM yang duduk dalam Partai Aceh. Pada Pemilu 2014 mendatang, Partai Aceh juga memberikan dukungan kepada 3 tokoh tersebut.
Disamping melalui jalur Partai, GAM juga berupaya menyusup ke jajaran legislatif melalui jalur DPD RI. Suara mantan GAM bisa sekaligus diberikan kepada Caleg titipan Partai Aceh di DPR RI dan kadernya yang mencalonkan melalui DPD RI. Setidaknya terdapat 4 orang calon DPD RI yang mendapatkan dukungan dari Partai Aceh. Muzakir Manaf, Ketua Umum Partai Aceh menyatakan dengan tegas agar Partai Aceh mendukung Fazlun Hasan. Fazlun Hasan selama ini menjabat Ketua DPP Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA). Selain itu, Fakhurrazi (mantan Jubir Partai Aceh) juga mencalonkan diri melalui jalur DPD RI.
Pemilih di Aceh Harus Cerdas Menentukan Pilihan
Situasi politik di Aceh saat ini menuntut masyarakat Aceh lebih bijak menentukan pilihannya pada Pemilu 2014 mendatang. Selama Partai Aceh berkuasa, khususnya sejak 2009 tidak ada kemajuan berarti di Aceh. Daerah ini masih menghadapi permasalahan keamanan dan kemiskinan yang serius. Sekitar 17,6 persen dengan tingkat pengangguran 10,3 persen. Angka itu diatas rata-rata nasional yaitu 11,7 persen dan 6 persen.
Di tangan rakyat Aceh sebagai Pemilih dalam Pemilu 2014 mendatang, masa depan Aceh dapat diperbaiki. Sebuah amanah dari anak cucu sebagai generasi penerus, Aceh perlu diselamatkan dari genggaman Partai Aceh. Pemilih di Aceh tidak perlu khawatir dengan ancaman yang dilakukan Partai Aceh dalam Pemilu. Karena cara-cara tidak demokratis pada kemenangan Partai Aceh tahun 2009 hanya menghasilkan anggota legislatif dan eksekutif yang tidak berkualitas menangani Aceh. Selain untuk DPRK dan DPRA, rakyat Aceh juga perlu bijak menentukan pilihannya untuk DPR RI dan DPD RI. Rakyat jangan menjatuhkan pilihan pada elit-elit politik yang berhubungan dengan Partai Aceh karena keinginannya untuk duduk dalam legislatif hanya untuk kepentingan mantan GAM bukan untuk rakyat Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H