[caption caption="Bagian dalam setelah dibuka | Dokpri"][/caption]
Mandeknya gilingan kopi elektrik yang segera disusul dengan patahnya gilingan tangan, tempo hari, memberi pelajaran cukup berharga.
Bahwa gilingan yang saya miliki memang tidak cukup tangguh untuk menaklukkan biji kopi panggang racikanku. Gilingan milikku memang terbilang sederhana jika dibandingkan dengan gilingan kekinian yang banyak menyajikan fitur dan detil mewah. Punyaku cuma Latina 600N yang harganya tidak sampai dua juta rupiah. Tapi saya sangat suka dengan gilingan ini karena cukup tangguh dengan harga relatif terjangkau.
Awal mengenal kopi, saya memang menyukai warna panggangan kopi yang cenderung terang. Walau kurang menonjol dari sisi body, namun rasa asam yang keluar cukup menonjol dan membuai lidah saya. Khususnya pada bebijian Arabika tertentu. Boleh dibilang, light roasted lah yang membuat saya kepincut untuk rajin ngopi. Wajar jika saat mulai belajar memanggang kopi pun, proyeksi hasil panggangan saya cenderung light roasted.
Seperti sudah disitir awal tadi, panggangan yang dihasilkan berwarna lebih terang. Semerbak aroma karamel seperti wangi Gula Jawa segera terasa saat dikeluarkan dari mesin panggangan. Aromanya kian kuat seiring turunnya suhu biji kopi saat didinginkan. Rasa teh dan daun mint keluar saat dicecap oleh lidah. Namun body dan after taste kurang keluar. Rasa cukup kaya, namun ada yang kurang ‘gigit’. Kira-kira begitulah catatan rasanya.
Nah, tantangan terberat adalah saat menggilingnya. Mesin giling kami, baik elektrik pun manual, bekerja ekstra keras. Aktivitas menggiling beberapa kali mandek di tengah jalan. Biji sering kali nyangkut meski sudah beberapa kali diakali dengan menggilingnya sedikit demi sedikit. Saya juga sudah coba menggilingnya pada level yang lebih kasar untuk digiling ulang pada tingkatan yang lebih halus. Hasilnya? Biji masih saja sering mandek. Bahkan saat masih digiling pada tingkat yang lebih kasar. Alhasil, kedua gilingan kami kena batunya. Maksud saya, bijinya.
Rasa asam pasti berkurang (banyak juga yang tidak suka dengan rasa asam), namun jejak rasa yang minim justru bisa diperpanjang dengan pola sangrai medium. Jadilah waktu pengembangan setelah rekahan pertama di dalam mesin sangrai diperpanjang. Kemarin saya coba sekitar dua menitan lebih sedikit. Hampir mencapai tiga menit sebelum jendela drum penyangrai dibuka dan bebijian jatuh ke alat pendingin biji yang melekat dengan mesin sangrai.
Seperti biasa, bebijian yang habis disangrai didiamkan beristirahat beberapa jam sebelum dimasukkan ke dalam toples kaca. Aroma yang merebak tetap wangi. Namun sedikit berbeda dengan sebelumnya. Dengan warna sedikit lebih gelap, biji pun menjadi lebih empuk, tak sekeras light roasted. Gilingan kami pun tidak menemui kesulitan berarti mengubah biji menjadi bubuk. Rasa yang dihasilkan juga beda. Rasa asam yang tertinggal sangat sedikit. Body juga jadi lebih terasa memenuhi rongga mulut. Dan yang terpenting (buat saya), jejak rasa yang tertinggal cukup panjang. Jauh lebih panjang dibandingkan light roasted. Meski harus saya akui bahwa, beberapa rasa yang melekat pada profil light roasted, tidak lagi kentara. Namun rasa lain yang sebelumnya kurang menonjol justru lebih optimal pada level medium ini.
Akhirnya, mau tidak mau, saya coba keluar dari ‘zona nyaman’ light roasted dan beralih ke medium roasted. Kita memang kerap dituntut untuk berani keluar dari zona nyaman dan belajar lebih banyak lagi akan hal-hal baru. Dan sering kali keberanian itu muncul seiring tuntutan keadaan. Ya, seperti saya ini. Gegara gilingan mandek, eksplorasi terhadap kopi malah berjalan lebih berani. Sudah ah. Waktunya ngopi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H