Mohon tunggu...
Marthin Sinaga
Marthin Sinaga Mohon Tunggu... -

Manusia jalang yang doyan bermimpi. \r\nhttp://www.kotakpandora.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Radhar yang Terbaring dan Potret Sastrawan di Negeriku

14 Maret 2013   10:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:47 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Layar media sosial pagi ini cukup membuatku terhenyak. Salah seorang kawan membubuhi lini massanya dengan link: Radhar Butuh Bantuan Dana untuk Biaya Operasi. Seakan ada sebilah belati sedang mengiris dada saya kala membacanya. Dia, orang yang begitu besar sumbangsihnya bagi dunia sastra kontemporer harus mengalami nasib seperti ini. Minimnya respon atas postingan kawan tersebut, menambah kesedihan bukan hanya terhadap Radhar, sosok yang banyak 'mencerahkan', tapi juga kepada sikap bangsa ini yang menggambarkan minusnya penghargaan terhadap sastra dan kebudayaan nasional. Lelaki yang terpilih sebagai satu dari lima seniman muda masa depan Asia versi NHK ini telah berulangkali melakukan cuci darah karena kondisi ginjalnya tak lagi berfungsi normal. Bakat menulisnya memang sudah muncul sejak kecil. Cerpen pertamanya yang berjudul “Tamu Tak Diundang” sudah mengisi halaman Harian Kompas tatkala dirinya baru menginjak usia sepuluh tahun. Sejak saat itu, karya-karyanya banyak menghiasi halaman media massa seiring pertambahan usianya. Kawanku, Majalah Hai, Kompas, Jakarta Jakarta, dan beberapa media massa lain pernah merasakan kinerja kepenulisannya. Pemikirannya yang cemerlang dalam bidang sastra dan filsafat menghantarkannya meraih Paramadina Award pada 2005 silam, pun beberapa penghargaan lain pernah disandangnya. Menjadi Manusia Indonesia; Lalu Batu; Jejak Posmodernisme; Cerita-cerita dari Negeri Asap; Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia; Dalam Sebotol Coklat Cair; Metamorfosa Kosong, merupakan serentet karya tulisnya dalam rentang 2002-2007. Tapi rentetan perjalanan tersebut, tidak lantas membuat negara memperhatikannya. Mungkin, sedikit juga orang yang memberi atensi terhadap sastrawan dan tokoh jurnalistik ini. Sebelumnya, saya pernah mendapat kabar tentang kondisi yang tidak jauh berbeda dialami Putu Wijaya dan Hamsat Rangkuti. Dua dedengkot seni dan sastra Nusantara yang persis alami musibah sama dengan Radhar, hanya beda jenis penyakit. Namun tidak adanya perhatian terhadap kondisi mereka, kurang lebihnya serupa. Kabar inipun saya dapat melalui media sosial, media yang kini kian lebih unggul ketimbang media mainstream. Entah kebetulan atua bukan, sang penyampai pesan adalah Radhar. Dia menyayangkan peristiwa yang menimpa dua koleganya tersebut. Meski belum pernah berinteraksi langsung secara fisik dengan saya, Radhar menyambut baik niat untuk menggalang bantuan bagi Putu dan Hamsat. Tragisnya, dia sendiri menghadapi nasib yang sama dengan apa yang diberitakannya sebelumnya. Ironisnya, apa yang dialami Radhar, Putu, dan Hamsat terjadi justru di saat dunia seni hiburan sedang menggila. Saat masyarakat tidak lagi bisa mebedakan mana perilaku lumrah, mana perilaku alay yang kerap disajikan entah sekedar untuk mengocok perut pemirsa, atau untuk merusak saraf di dalam tempurung kepala masing-masing. Radhar, Putu, dan Hamsat, sejatinya merupakan seniman yang memperjuangkan realitas kebangsaan Indonesia. Namun mereka harus rela ditenggelamkan industri budaya pop yang kian mencerabut masyarakat dari realitas hidupnya sebagai sebuah bangsa. Mereka yang berkutat menegakkan makna kata-kata, harus terinjak oleh mereka yang dengan entengnya merusak tatanan bahasa. Lalu negara? Entah di mana keberadaannya. Saya jadi teringat pula pada kondisi Pak Raden yang hidupnya kini temaram, meski dulu rajin memberi lilin bagi anak-anak sebagai penuntun jalan menuju hari ini dan esok. Beruntung masih ada beberapa anak-anak muda kreatif di sisinya, yang tidak bisa lupa akan ‘si Unyil’, setia mendampinginya dan merajut solidaritas. Entah apa yang terjadi dengannya jika anak-anak muda tersebut berlalu dari sisinya, akankah ia menemukan lilin bagi dirinya sendiri untuk melarung temaram senja-nya. Masih banyak lagi tokoh-tokoh lain yang sudah memberi peran besar bagi perjalanan sosial bangsa ini. Sebut saja Rendra si 'Burung Merak' yang harus mendapatkan perlakuan hina atas karya-karya indahnya, yang sayangnya justru dianggap subversif oleh negara, sehingga ia harus rela mondar-mandir hotel prodeo sebagai ganjarannya. Bagaimana dengan Wiji Tukul, sang 'penyaksi' yang hingga kini entah dimana rimbanya, juga karena karyanya yang dianggap subversif. Rezim berganti rezim, namun nasib mereka tetap saja sama. Hilang dari perhatian sebuah wadah bernama negara. Atau, memang sengaja dihilangkan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun