Masyarakat awam belakangan dibingungkan oleh berita tentang "rebutan" penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. KPK merasa paling berhak menangani kasus ini karena sudah berjalan jauh melakukan penyidikan, menetapkan tersangka dan memiliki barang bukti kuat. Polisipun tak mau kalah ingin tetap memeriksa kasus di lingkungannya sendiri meski kelihatan agak kalah cepat dibanding KPK. Kedua institusi sama-sama menyatakan punya argumen yang menguatkan ke"keukeuh"annya untuk tetap menyidik kasus tersebut.
Rebutan kasus itu bahkan sempat diwarnai insiden percekcokan saat KPK hendak menyita barang bukti namun dihalangi oleh sejumlah perwira polisi yang merasa terusik dengan kerja KPK yang dianggap tidak pakai "kulonuwun". Maka semua pihakpun berkomentar, bahkan sampai presiden sendiri yang kemudian berbicara menengahi rebutan kasus ini, meski lagi-lagi tak terlalu digubris oleh kedua pihak yang memang punya sejarah perselisihan pribadi cicak vs buaya ini.
Alhasil kasus rebutan ini hanya membingungkan rakyat saja. Apa sih yang diperebutkan? kenapa harus saling sikut untuk menyidik sebuah perkara. Apakah KPK dan Polri tidak bisa bekerja sama, bagi-bagi tugas untuk sebuah tujuan utama yang sama yakni mengungkap adanya korupsi atau tidak. Kenapa pula presiden tidak bisa mengkoordinasi kedua koleganya ini untuk bekerja bersama.
Pertanyaan rakyat jelatapun berkembang, memangnya ada apa dengan kasus itu kok dibuat rebutan. Apakah akrena nilai duitnya gede? Apakah kedua institusi ini saling berebut "nama", masing-masing pengen duluan disebut "pahlawan", atau ada yang lain. Jangan-jangan di kasus itu ada yang "disembunyikan". Kerling mata rakyatpun mengarah ke institusi Polri, seperti ada bau yang tidak sedap.
Rakyat awam tampaknya tak terlalu peduli siapa yang menyelidiki sebuah kasus korupsi, yang terpenting adalah koruptornya terungkap dan tertangkap dari yang kelas teri sampai kelas kakap. Yang penting adalah uang negara yang dikorup bisa dikembalikan. Boleh KPK boleh juga Polri, tapi hasilnya jelas.
Adu argumen aturan hukum hanya akan menjadi konsumsi kaum elite, sementara rakyat awam dan jelata tak terlalu paham. Bukan tak ingin pandai atau tak ingin mengerti aturan hukum, tetapi jangan sampai ribut adu pinter soal aturan (seperti biasanya) lalu mengesampingkan tujuan utama dibentuknya aparat hukum termasuk lembaga super seperti KPK, yakni menangkap dan memenjarakan koruptor serta mengembalikan uang negara yang dikorupsi.
Semua ini harus kita kembalikan kepada nurani anti korupsi kita. Semangat pemberantasan korupsi harus lebih dikedepankan ketimbang beradu argumen soal siapa yang berhak dan tidak berhak menangani sebuah kasus. Maka dalam hal ini, peran presiden sebagai pemimpin sangat penting untuk menentukan arah dan visi pemerintah dan aparatnya.
Kalau yang seperti ini presidennya tak punya wibawa untuk menengahi tentu patut dipertanyakan. Tentu presiden punya sederet staff ahli dan orang-orang pinter yang bisa memberi nasihat dan masukan. Sepatutnya rebutan kasus ini jangan dibiarkan berlarut-larut, membingungkan rakyat, menguras energi dan buang waktu sia-sia. Nanti keburu koruptornya lari dan barang buktinya lenyap.
Selamatkanlah negaraku.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H