Tahu Tempe Menghilang dari Pasaran Jakarta, begitu sejumlah media massa memberi judul pada berita mereka yang dirilis Rabu (25/7/2012). Betul memang, pada hari itu tahu tempe tak lagi ditemukan di pasar tradisional dan supermarket, kalaupun ada jumlahnya sedikit dan tentu harganya lebih mahal dari biasanya. Apa pasal? ternyata para perajin tahu tempe tengah mogok kerja, lantaran harga kedelai melambung dan barangnyapun susah didapat.
Ironis memang kedengarannya, makanan tradisional masyarakat Indonesia dan makanan yang dicap "murahan", harus berhenti produksinya lantaran bahan bakunya mahal. Lebih ironis lagi lantaran bahan baku makanan "ndeso" itu ternyata harus diimpor dari negara adidaya seperti Amerika Serikat. Lha dhalah..kok bisa ya? begitu komentar seorang ibu yang mungkin tak banyak tahu perkembangan pembangunan negeri ini.
Tapi itulah kenyataannya. Kedelai yang menjadi bahan baku tahu tempe itu memang harus diimpor dari negeri Paman Sam, karena produksi kedelai dalam negeri tak pernah mencukupi, selain kualitasnya juga kalah jauh dibanding kedelai impor.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata kebutuhan kedelai di negeri ini setiap tahunnya kurang lebih 2,3 juta. Sementara produksi dalam negeri pada 2010 baru mencapai 907.031 ton (Angka Tetap/ATAP), yang berarti hanya memenuhi kurang lebih 41,22 persen dari kebutuhan yang ada.
Pada 2011, produksi kedelai dalam negeri malah turun menjadi sekitar 870.068 ton (Angka Ramalan/ARAM III) atau hanya 37,85 persen dari total kebutuhan. Nah, darimana untuk memenuhi kekurangannya, ya dari impor. Artinya impor kedelai Indonesia mencapai 60-70 persen!.
Negara pemasok terbesar kedelai ke Indonesia adalah Amerika Serikat kemudian Kanada, China, Ukraina, dan Malaysia.
Tentu yang menjadi pertanyaan, kenapa produksi kedelai dalam negeri rendah? bukankah negara kita negara agraris?, bukankah sebagian rakyat kita juga petani? dan sederet pertanyaan lain.
Ternyata, bagi para petani, kedelai memang belum menjadi komoditi yang populer seperti padi, jagung atau palawija lainnya lantaran secara ekonomis hasilnya kurang menjanjikan, serta petani merasa kurang mendapat bantuan atau insentif yang cukup dari pemerintah.
Menurut data BPS, produktivitas kedelai di tingkat petani rata-rata hanya mencapai 13,78 ku/ha (ARAM III 2011), sedangkan potensi produksi beberapa varietas unggul bisa mencapai 20,00–35,00 ku/ha.
Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, produksi kedelai hanya meningkat sedikit, yaitu luas panen sebesar 2,72 %, produktivitas 1,22 % dan produksi 4,06 %.
Departemen Pertanian sebenarnya sudah mengidentifikasi masalah rendahnya produksi kedelai. Masalah itu adalah lambatnya penerapan teknologi, rendahnya penggunaan benih bermutu, rendahnya penggunaan pupuk berimbang, bio hayati dan organik, serta persaingan lahan dengan komoditi lain.