Isu Laut China Selatan merupakan salah satu konflik maritim yang paling kompleks dan dinamis di kawasan Asia-Pasifik. Laut China Selatan memiliki kepentingan strategis yang tinggi karena jalur perdagangan utama dunia melintasi kawasan ini. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan melalui klaim yang dikenal dengan "Nine Dash Line" yang berdasarkan peta yang mereka buat pada 1947. Klaim ini meliputi hampir seluruh wilayah Laut China Selatan dan menimbulkan konflik dengan negara-negara lain yang juga memiliki kepentingan di kawasan tersebut, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Indonesia memiliki kepentingan besar dalam konflik Laut China Selatan, terutama terkait dengan Laut Natuna Utara yang menjadi jalur strategis dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Laut Natuna Utara sering menjadi titik perselisihan karena tumpang tindih klaim China melalui Nine Dash Line dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diakui oleh hukum internasional. Sementara itu, Indonesia memegang hak kedaulatan berdasarkan UNCLOS 1982. Namun, perselisihan ini semakin memanas dengan kehadiran berbagai aktor regional dan global yang memiliki kepentingan berbeda dalam mengklaim kawasan ini.
Dalam konteks ini, kesepakatan yang dicapai antara Prabowo Subianto, Presiden Indonesia, dan Xi Jinping, Presiden Tiongkok, turut mempengaruhi dinamika ini. Kesepakatan ini berfokus pada kerja sama di sektor maritim dan ekonomi, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan keamanan di Laut Natuna. Akan tetapi, kesepakatan ini memicu berbagai polemik, di antaranya kekhawatiran bahwa kerja sama ini dapat mengurangi posisi hukum Indonesia dalam menanggapi klaim China melalui Nine Dash Line. Bahkan, beberapa analis melihat bahwa kesepakatan ini dapat mempengaruhi kebijakan maritim Indonesia dan stabilitas regional di ASEAN.
Lebih lanjut, kesepakatan Prabowo dan Xi Jinping menunjukkan bahwa dinamika geopolitik semakin kompleks dan membutuhkan pendekatan yang berlandaskan diplomasi aktif dan hukum internasional. Di satu sisi, kerja sama dengan Tiongkok berpotensi membawa keuntungan ekonomi, terutama dalam pengelolaan sumber daya maritim dan pengamanan kawasan Laut Natuna. Di sisi lain, kesepakatan ini memiliki risiko dalam konteks mengakui klaim sepihak dari Tiongkok yang bertentangan dengan prinsip UNCLOS 1982 dan kepentingan strategis Indonesia dalam mempertahankan ZEE di Laut Natuna Utara.
Dampaknya, Indonesia harus mengembangkan strategi yang efektif dengan memanfaatkan hukum internasional sebagai landasan penyelesaian sengketa maritim sambil terus membangun hubungan diplomasi yang sehat dengan negara-negara terkait. Upaya ini penting untuk memastikan bahwa Indonesia tetap memiliki kendali atas sumber daya alam yang melimpah di Laut Natuna sambil mempertahankan kedaulatannya di tengah ketegangan regional. Pendekatan ini memanfaatkan wawasan nusantara sebagai kerangka berpikir yang melihat keberagaman budaya, geografi, dan kepentingan nasional sebagai satu kesatuan yang harus dijaga melalui pendekatan yang inklusif dan strategis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI