Mohon tunggu...
Novi Marthiany
Novi Marthiany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pelajar dan istri rumah tangga. Tidak suka menabung tetapi suka menyelam. Tidak suka posting yang nyolot, maunya yang adem dan lucu ajah.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Diskriminasi

24 Mei 2010   19:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:59 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gimana di sana?”
Nggak papa? Nggak didiskriminasi?”
“Wah. Texas yah. Ati-ati aja”
Sebagai minoritas, saat mengikuti suami yang warga negara Amerika untuk pindah ke Texas, terbersit juga kekhawatiran bakal mengalami diskriminasi, yakni disepelekan atau diperlakukan beda atau tidak adil hanya karena penampilan atau ras. Bisik-bisik teman juga bilang kalau Texas itu banyak yang rasis, apalagi terhadap muslim. Berjilbab pula macam saya. Alhamdulillah, dari sejak tiba di bandara sampai melamar pekerjaan, hingga detik ini saya belum pernah menerima perlakuan diskriminasi. Bahkan petugas imigrasi bandara yang saya takutkan bakal galak dan sinis berlebihan, ternyata malah luar biasa ramah. Saya sempat menyaksikan, sebelum saya, petugas custom berlaku agak kasar ketika berhadapan dengan orang Korea yang kurang bisa berbahasa Inggris saat pemeriksaan barang bawaan. Giliran saya, dengan modal senyum, berbaik sangka dan mencoba bersikap kooperatif, ternyata mereka justru ramah dan sabar memeriksa segala macam bumbu berbau menyengat yang saya bawa.

Saat melamar pekerjaan dan ikut pelatihan, trainer menjelaskan dress code dari mulai rambut sampai sepatu. Ia bilang “Let me ask, you always cover your head, right?” saya jawab, yes, dan lanjutnya “Okay, then we will just skip this part”. Pernah juga di restoran seorang pelayan bertanya apa saya kedinginan? Karena ini musim panas, di Texas yang panas pula, kok pakai lengan panjang dan tutup kepala. Saya bilang tidak. Lalu ia tanya lagi “What nationality are you?” ketika saya jawab Indonesia tentunya dia tidak tahu, sebagaimana orang Amerika lain yang pengetahuan geografinya pas-pasan. Ketika suami saya bilang “That’s a country with many islands above Australia", baru dia manggut-manggut “Aaah..i think I see it in National Geographic Channel”.

Secara umum, pergi ke manapun, dari mulai mengunjungi saudara-saudara suami, interaksi dengan penjaga toko, dokter, sampai orang tidak kenal yang ketemu di jalan, banyak sapa dan senyum ramah. Bukan hal yang aneh kalau ketika berpapasan mereka senyum dan melambaikan tangan.

Suami adalah orang yang tadinya takut luar biasa untuk berkunjung ke Indonesia. Takut disweeping, takut di bom, takut kena penyakit ajaib, ngebayangin semua orang Indonesia sinis ama orang Amerika, begitulah semua berita yang dia baca tentang Indonesia. Ternyata setelah dia tahu, dia selalu nyesel kenapa nggak dari dulu dia ke Indonesia :) Singkatnya, kita sama-sama berkesimpulan kalau media itu benar-benar hanya memberitakan yang jelek-jeleknya dari kedua negara, senang mengompori pihak-pihak yang berseberangan... so never trust the media, you should experience it by yourself!

Jadi, jika ditanya kapan kamu merasa begitu menerima perlakuan paling diskriminatif? Pikir-pikir, ternyata diskriminasi yang paling nyebelin dan kelihatan jelas justru saya dapat di negeri saya sendiri. Mungkin banyak yang pernah mengalami hal serupa: Ditanggapi dengan pelayanan setengah hati cuma gara-gara penampilan tidak ala fashionista, atau bahkan hanya karena anda orang Indonesia, sementara bule di sebelah anda disambut berlebihan, padahal belum tentu dia punya duit :)

Di tempat-tempat wisata seperti Bali, kelihatan jelas beberapa oknum penjaja wisata lebih sumringah saat melayani bangsa kaukasian dibanding bangsa sendiri. Kejadian seperti ini lebih terasa ekstrimnya saat saya dan suami pergi bersama.

Contoh soal 1 :)
Di sebuah hotel di Kebayoran Baru.
Saya masuk lebih dahulu ke lobi, menanyakan ada kamar kosong? Setelah mengetahui bahwa saya bukan dari perusahaan melainkan perorangan, jawabnya mantap: Tidak ada.
Lalu suami saya masuk lobi belakangan setelah membayar taksi. Saya bilang ke dia tidak ada kamar. Si petugas melihat suami, kemudian langsung bergumam “Oooh, wait a minute, misterrrrr!” . Selanjutnya ia menekan tombol-tombol di keyboard dan…tiba-tiba dia menjawab ”TERNYATA masih ada satu kamar”. Well. Sebenarnya suami luar biasa heran dan sedikit tersinggung karena diskriminasi yang saya alami oleh bangsa saya sendiri, tapi apa daya, saat itu memang situasinya agak mendesak karena dalam masa bulan madu kami harus menengok saudara yang juga rekan kerja dan rekan curhat saya, Intan, di UGD Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), kebetulan hotel tersebut jaraknya ke RSPP hanya satu tarikan gas bajaj. :D

Contoh Soal 2:
Di sebuah Diving Center di Manado.
Sebenarnya sih bukan di diving center sini saja, di semua diving center, ketika kami masuk, para pegawainya pasti lebih semangat menyambut suami saya, setelah itu baru tanya ke saya “mbaknya ini mau ikut diving juga?”.
Wah wah. Mentang-mentang dia bule tinggi besar pasti dikiranya dia dive master, sementara saya yang kecil mungil berjilbab, seringnya dikira hanya penggembira :) Belakangan mereka baru ngeh pas suami jelasin “Yang punya sertifikat diving itu istri saya, yang ngajarin saya nyemplung ke air pertama kali itu istri saya”. (Walaupun dengan narsisnya tetap dia bilang “saya belum punya sertifikat tapi lebih jago dari dia”)

Sebaliknya, suami tentu saja mendapatkan diskriminasi yang berbeda. Semua harga jadi melonjak ketika ia yang bertanya. Berulangkali mendapatkan pengalaman tersebut, akhirnya saya dan suami menyiasati perlakuan ini dengan membagi tugas dan peran sesuai fungsinya.

Contoh, kolam renang hotel di Bali tutup pada pukul 19.00 untuk chemical treatment. Hal itu sudah tertulis jelas-jelas di papan pengumuman kolam renang. Kita baru tiba di hotel setelah seharian jalan jalan, dan saya kepingin sekali berenang buat melepas lelah dan relaksasi. Nah, di sini suami saya bertindak, tinggal telpon dan basa-basi sedikit sama penjaga hotel, jadilah chemical treatment diundur samapa jam 20.00, setelah kita selesai berenang.

Jadi, kalau porsi meminta pelayanan lebih, bahkan pelayanan ekstra yang agak-agak melanggar ketentuan, suamilah yang bertindak. Sebaliknya, urusan tawar-menawar bajaj, beli souvenir, booking hotel dengan harga teman, saya jagonya. Biarlah sedikit manipulatif, salah sendiri kenapa mereka diskriminasi? :D Saya tahu diskriminasi yang saya alami pasti tidak ada apa-apanya dibanding perlakuan petugas bandara Soekarno Hatta terhadap TKI, misalnya. Mudah-mudahan kesan orang Indonesia yang ramah dan fun bisa tambah kuat, dengan memperlakukan warga negara sendiri dengan baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun