Mohon tunggu...
Maria Theressa
Maria Theressa Mohon Tunggu... Guru - Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata. Akun twitter : @hommel_edu

Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Semesta Indonesia Mendidik

28 Mei 2016   10:51 Diperbarui: 28 Mei 2016   11:14 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: fenzpenguin.blogspot.com


Ketika Anies Baswedan (Mendikbud) mengemukakan konsep pendidikan sebagai gerakan semesta, sebagai guru saya langsung mengangguk setuju.  Saya sangat setuju bahwa proses pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru semata, melainkan tanggung jawab semua elemen masyarakat juga.  Namun, jika saya pikir-pikir kembali pernyataan Pak Menteri, sebenarnya pernyataan tersebut ibarat pedang bermata dua.  Salah satunya sisinya memang menyejukan, namun di sisi yang lain justru sangat berbahaya!

Dalam era serba terbuka seperti saat ini, dengan mudahnya kita menjelajahi alam semesta.  Jarak antar belahan dunia hanya sejauh 'satu klik'.  Dunia internet menawarkan hanya dengan 'sekali klik', kita sanggup dihantarkan menuju ke dunia yang kita sukai.  Bukan hanya itu, hanya dengan 'sekali klik', kita berkesempatan menemui para role model yang kita kagumi di belahan dunia lain.  Jika bicara anak, remaja dan dunia mereka, internet telah memperpendek jarak dengan para idola mereka, yang notabene merupakan orang-orang dewasa yang mereka kagumi.  Sudah merupakan hal yang lumrah jika kita senang belajar sesuatu dari orang yang kita kagumi.  Karena kita senang dengan mereka, otomatis hal-hal yang mereka bagikan, dengan mudahnya kita 'telan'.  Begitu juga dengan anak-anak dan remaja.  Oleh sebab itulah, guru-guru di sekolah juga dituntut untuk bisa merancang kegiatan pembelajaran yang menyenangkan.  Belajar dengan hati dan situasi yang senang berpotensi untuk meninggalkan kesan yang lebih mendalam.

Sayangnya, tak semua hal yang menyenangkan di lingkungan semesta ini bisa berdampak positif pada proses tumbuh-kembang anak dan remaja usia sekolah.  Dunia internet yang kerap diakrabi para generasi muda tak melulu konten-kontennya dikawal oleh orang dewasa yang mampu menjadi suri teladan.  Dunia media yang hingar-bingar juga tak melulu diisi oleh program-program yang menunjang pendidikan anak usia-sekolah.  Lingkungan tempat tinggal, yang notabene merupakan satu-satunya dunia nyata bagi si anak dan remaja pun, tak melulu diisi oleh hal-hal yang indah dan menyenangkan.  Justru seringkali, anak-anak dan remaja harus membayar mahal untuk sebuah pengetahuan seperti ilmu pengetahuan tentang seks, ilmu pengetahuan tentang narkoba, dan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.  Kenapa harus mahal?  Karena dengan natur keingintahuan dan rasa penasaran, mereka mencoba mempelajari sendiri semesta di sekeliling mereka dan berujung pada akibat yang fatal!   

Semesta begitu mudahnya menjadi 'guru' bagi para generasi muda.  Sesuatu yang sedang menjadi 'tren' di kalangan generasi muda, dengan mudahnya menjadi viral dan segera menjadi bagian dari dunia si anak dan remaja.  Sebut saja dunia game online, yang terus saja menjamur beberapa tahun belakangan ini.  Era video game yang telah berkembang di Indonesia sejak dekade 80-an, terus mengalami perkembangan hingga saat ini.  Era game online yang saat ini menjamur, bukan hanya dinikmati oleh anak dan remaja usia sekolah saja.  Bahkan banyak orang dewasa pun yang ikut menggilai permainan ini.  Jika saya cermati, ada beberapa hal positif yang "diajari" oleh game online seperti; memperkaya kosa kata Bahasa Inggris, memperkaya pengetahuan umum tentang sejarah negara tertentu yang menggunakannya sebagai background cerita game-nya dan memperkaya ide visual lewat berbagai tampilan grafis beberapa game yang unik-unik.

Namun, tak bisa dipungkiri juga jika ada beberapa game online yang memuat konten kekerasan seperti memvisualisasikan pembunuhan brutal dan juga memuat konten seksual yang menjurus pada pornografi.  Beberapa pengembang game online membela diri dengan mengatakan bahwa game tersebut memang dibuat BUKAN untuk segmen remaja dan anak-anak.  Kenyataannya, penyebaran dan penjualannya mudah ditemui secara bebas bukan?  Ke mana sosok-sosok orang dewasa yang bertebaran di semesta Indonesia ini?  Inikah salah satu cara semesta Indonesia mendidik?      

Bicara soal 'semesta' berarti bicara mengenai hal-hal yang universal dan menyeluruh.  Merujuk definisi kata 'semesta' menurut KBBI yaitu 'seluruh', 'segenap', 'semuanya', dan 'berlaku untuk seluruh dunia, universal' .  Jika pendidikan dikatakan merupakan gerakan semesta, ya itu sudah pasti! Faktanya, setiap leluhur bangsa di dunia secara naluriah telah menyelenggarakan proses pendidikan bagi para generasi mudanya sejak masa lampau. Baik secara lisan maupun tulisan.  Bukti-buktinya telah banyak terpatri dalam berbagai peninggalan sejarah yang meninggalkan beberapa catatan historis pada masa tertentu.  Kalau dipikir-pikir, mengapa para leluhur manusia mau bersusah-payah mengukirkan pesan di berbagai media bebatuan, gua-gua, daun , dan lain sebagainya?  Itulah proses pendidikan yang secara naluriah terpikirkan oleh para leluhur saat itu.  Mereka ingin supaya generasi penerusnya belajar dari sejarah kehidupan mereka.  Memetik hal-hal yang baik, namun tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama di masa yang akan datang.

Namun perlu diingat, tidak semua dari para leluhur tersebut berinisiatif meninggalkan 'panduan' bagi generasi berikutnya.  Kita tak bisa memungkiri, ada juga golongan yang bersikap apatis, yang berpikir hanya untuk 'survive' di zaman mereka.  Boro-boro berusaha menjadi role model yang bisa digugu dan ditiru oleh para generasi mudanya, golongan ini hanya sekedar meninggalkan 'jejak' mereka saja.  Kita yang hidup di masa kini mengetahui bahwa mereka pernah ada di sana.  Golongan ini pernah hidup dan eksis di masa lalu, tapi hanya berhenti sampai di situ saja.  Selain 'sampah', golongan ini tak meninggalkan warisan yang cukup berarti bagi kita sebagai generasi yang hidup setelah mereka.

Hal ini pun terus berulang di sepanjang zaman sejarah manusia.  Tak terkecuali pada zaman sekarang ini, golongan seperti ini terus saja bermunculan di tengah-tengah semesta (termasuk Indonesia).  Seiring bergulirnya zaman ke arah modern, manusia sosialis cenderung menjadi pribadi yang egosentris.  Tak pernah memikirkan seberapa layak 'jejak' yang mereka tinggalkan, asalkan 'urusan perut'nya tak terganggu.  Tak peduli jika 'jejak' yang ditinggalkan itu justru membawa dampak buruk bagi generasi berikutnya.  

Dalam kelompok para pemimpin rakyat, berapa banyak golongan insan  yang tanpa malu-malu bertindak egois hanya untuk memenuhi kebutuhan 'perutnya' dan mengabaikan kepentingan rakyatnya?  Dalam kelompok para pelaku bisnis, berapa banyak insan yang hanya terus mengeruk keuntungan tapi mengabaikan hal-hal etis yang lain?  Sebut saja para penjual rokok di emper-emper yang 'menutup mata' saat barang dagangannya dibeli dan dikonsumsi oleh para pelajar.   Belum lagi beberapa golongan yang 'giat' membangun 'kerajaan bisnisnya' tanpa mempedulikan aspek lingkungan hidup.  Dalam kelompok media pertelevisian, berapa banyak golongan yang 'bekerja keras' menyajikan acara televisi yang memiliki rating tinggi namun mengabaikan nilai edukasi bagi generasi penerus bangsa yang menonton acaranya?  Terakhir, siapa bilang golongan apatis ini nihil dalam dunia pendidikan? 

Berapa banyak insan guru yang 'bekerja keras' mengurus sertifikasinya dan mengabaikan proses belajar murid-muridnya di kelas?  Berdalih untuk meningkatkan kompetensi, murid-murid dtinggalkan tugas dan disuruh belajar sendiri di kelas.  Lalu kompetensi guru itu buat siapa?  Dan, ini yang paling terakhir, siapa bilang dalam dunia paling kecil, yaitu di rumah, golongan apatis ini nihil?  Berapa banyak insan orang tua yang 'bekerja keras' menafkahi keluarganya justru malah mengabaikan anak-anaknya ketika mereka butuh tempat untuk bercerita dan berbagi perasaannya?  Anak dan remaja juga manusia lho!  Bukan hanya kebutuhan fisiknya yang perlu dipenuhi, kebutuhan psikisnya juga perlu dipenuhi.  Jika merasa kebutuhan psikisnya tak mampu dipenuhi, tak heran jika anak dan remaja mencari 'dunia senang' di luar sana.  Lagi-lagi, mereka mencari 'guru' di semesta luar sana.

Jika sudah merupakan fakta tak terbantahkan bahwa golongan apatis juga merupakan bagian dari semesta, maka siapkah jika generasi muda kita dididik di tengah-tengah sistem semesta seperti ini?  Kenyataanya, kita memang tak bisa mencegah anak-anak dan remaja ini berinteraksi dengan golongan apatis seperti ini.  Apalagi di era teknologi seperti sekarang,  golongan ini bisa ditemui di mana saja dan kapan saja.  Sementara anak-anak dan remaja kita berusaha untuk "belajar" dan "mencari jawaban" atas pertanyaan-pertanyaan mereka, siapkah kita jika mereka belajar dari para golongan apatis?  Ingat, golongan apatis juga bagian dari semesta.  Mereka pun berhak untuk 'mengajari' para generasi muda sekiranya mereka dibutuhkan. 

Sekali lagi, proses pendidikan sebagai gerakan semesta memang seperti pedang bermata dua.  Golongan masyarakat apatis juga bagian dari semesta.  Golongan apatis pun hanya sekedar berusaha menyambung hidup.  Meskipun begitu, golongan ini juga punya hak hidup yang sama dengan golongan non-apatis di tengah-tengah alam semesta.  Jika ingin menggerakan pendidikan sebagai gerakan semesta, jumlah golongan non-apatis seharusnya memiliki kuantitas yang lebih banyak dari kuantitas golongan apatis.  Golongan non-apatis merupakan golongan yang mau berkomitmen dan memiliki semangat ala Ki Hajar Dewantara ;

Ing Ngarsa Sung Tulada

BERSEDIA berada di depan generasi muda untuk memberi teladan atau contoh tindakan yang baik

Ing Madya Mangun Karsa

BERSEDIA berada di antara generasi muda untuk membantu memberikan prakarsa dan ide

Tut Wuri Handayani

BERSEDIA berada di belakang generasi muda untuk memberikan dorongan dan arahan

Semangat Ki Hajar Dewantara ini bukan hanya sekedar sejuk dibaca dan dilafalkan.  Butuh komitmen kuat untuk menjadi pribadi golongan non-apatis.  Tidak semua orang harus berprofesi menjadi guru.  Tokh, masih ada juga orang yang menjadikan guru hanya sekedar profesi belaka, bukan? Yang dibutuhkan bangsa ini yaitu orang-orang yang MAU HIDUP DENGAN SEMANGAT ala Ki Hajar Dewantara, apa pun profesinya.  Ada pepatah yang mengatakan, 'bisa karena biasa'.  Jika menjadikan semangat Ki Hajar ini sebagai bagian dari kebiasaan hidup, maka bukanlah hal yang mustahil jika generasi berikutnya akan mereguk nikmatnya masa depan yang  cerah kelak.

Jika pendidikan merupakan gerakan semesta, maka saya dan Anda (apapun profesinya) mau memilih menjadi golongan semesta yang mana? Golongan apatis yang berjuang untuk hidup sendiri, atau ... golongan non-apatis yang memiliki semangat hidup Ki Hajar?

Martheressa @hommel_edu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun